Sementara itu, Wisnu segera menghampiri Ibu untuk mengecek keadaannya. Ia mungkin satu-satunya orang dengan pelatihan penanganan medis darurat resmi, selain Ari yang terlatih dari Menwa kampusnya.

"Gak ada tanda-tanda infeksi di tangannya sih... Mbak merasa dada panas, demam tinggi, pandangan kabur gitu gak?" Tanya Wisnu pada Ibu, sambil meriksa kondisi tangan kirinya.

"Enggak Mas. Ya, badan sih kerasa sakit-sakit kecapean... Tapi gak kerasa ada demam, pandangan kabur gitu, enggak. Nafas juga lancar kok ini, gak ada panas-panasnya di dada." Balas Ibu, sembari mencoba tarik dan buang nafas beberapa kali.

"Wah, kalo gak kerasa ada gejala ya semoga aja emang Mbak penyintas ya... Sekarang mending isi dulu sama makanan ringan, minum juga mesti vitamin C dari ransum kita aja tuh. Supaya imunnya tambah kuat. Semoga gak ada infeksi ini luka potongannya..." kata Wisnu.

"Tolong, ambilin makanan buat Mbak Mel..." pinta Ayah.

Ari pun bergegas keluar dari ruangan, tanpa menyebut sepatah katapun. Aku rasa, ia menyimpan trauma berat dari kejadian semalam. Aku takut, ia tak berani lagi berbicara pada Ibu. Padahal, sebenarnya aku yang menyebabkan semua ini. Aku yang lengah dan terjatuh. Aku yang membuat Ibu harus merelakan nyawanya demi keselamatanku. Aku yang gagal menjaga diri sendiri. Aku nyaris mengingkari janjiku pada Ari, untuk tetap bertahan hidup demi Ibu. Aku justru membahayakan Ibu. Sebetulnya... Ini salahku.

*****

Ari

23 Jam telah berlalu sejak kejadian itu... Ibu sama sekali tidak menunjukan gejala infeksi SAIS, atau infeksi luka potongan. Jika memang proses virus mematikan orang membutuhkan maksimal 24 jam, hanya tinggal menunggu beberapa puluh menit saja untuk memastikan nasib Ibuku.

Walaupun aku mungkin telah mencegahnya berubah menjadi salah satu dari jutaan recs, tapi rasanya... Masih begitu berat bagiku untuk bicara ke Ibu. Aku hanya berani meliriknya, dan beberapa kali melempar senyuman ringan padanya. Aku tak paham pada diriku sendiri... Mengapa tak bicara saja? Kalau harus jujur, aku sungguh ingin memeluknya.

"Jadi... Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Baron.

Kami semua berkumpul di ruang tamu rumah terbengkalai ini. Sejak malam kemarin, kami menetap di sebuah rumah kosong satu tingkat yang terletak di entah berantah. Jarak rumah terdekat lain mungkin sekitar 20 meter, dengan lahan kosong berisi rerumputan liar yang memisahkan di antara rumah. Ruang terbuka yang cukup luas, memungkinkan kami untuk setidaknya tau apa yang akan menghampiri kami. Tak ada ruang bagi penyintas lain, atau recs untuk menyelinap, dan tiba-tiba muncul di depan pintu.

"Kita gak akan bisa kembali ke benteng... Jadi, udah pasti pilihan terakhir kita ke Sukabumi," jawab Sely.

"Iya, tapi gimana caranya?" sambung Reka.

"Kita bahkan gak tau kita ada di mana... Apalagi rute buat ke Sukabumi." Lanjut Baron, sambil menggigit biskuit tebal bawaan dari paket ransum polisi.

Tak ada yang berjaga di luar saat ini, kami memang berniat untuk makan malam bersama, mendiskusikan langkah kami selanjutnya.

"Buat langkah pertama, setidaknya kita punya kendaraan dulu lah ya. Buat angkut barang kita yang banyak ini kan susah... Apalagi Mbak Melani sakit begini," saran Ayah.

"Oke, besok pagi kita cari kendaraan... Terus?" Dinda menimbrung.

"Setahu saya, ada sungai di arah barat yang mengalir sampai ke Cianjur. Gimana kalau, kita jalan terus aja ikuti letak matahari? Dari mulai matahari di punggung, sampai di depan mata, kita ikutin terus. Sesuaikan saja sama jalanan yang ada nanti. Tapi, saya gak bisa pastiin berapa lama kira-kira waktu tempuhnya, kalau cari rute seadanya begini," terang Wisnu.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now