SFAP 01 || Back to Pesantren

162 16 5
                                    

"Ilmu tidak akan dapat di raih kecuali dengan ketabahan."
[Imam Syafi'i]

____________________________________

"Jadi, apakah ada yang belum bisa di pahami, dari materi yang tadi saya sampaikan?" tanya setelah dirinya menjelaskan materi hari ini.  "Jika tidak, silahkan kerjakan hal 107-113!"

"Saya beri waktu 10 menit, di mulai dari sekarang!" perintah Fikri, selaku guru Matematika.

Semua murid tercengang, menghela nafas berat. Tugas sebanyak itu dengan waktu yang sangat minim, yang benar saja. Akankah mereka dapat menyelesaikannya dengan waktu yang telah di tentukan? Jawabannya tidak akan.

"Bentar lagi 'kan istirahat Gus," cetuk salah seorang santri di sana.

Gus Fikri adalah anak dari Kyai Syarif Hidayatullah. Selaku pemilik pesantren ini. Memiliki paras yang tampan dengan hidung yang mancung membuat yang melihatnya merasa terpana.

"Jika tidak selesai, besok pagi di kumpulkan!"  Meskipun terdengar seperti guru yang sangat tegas, namun para santri sering di buat gagal fokus, untuk memahami materi yang di sampaikan. Benar-benar memalukan.

Khanza membereskan semua alat tulis nya yang ada di meja, bell istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Para murid berguguran pergi menuju kantin. Ia menatap heran kepada Nabila yang masih setia duduk dengan menelungkupkan tanganya.

"Lho kok gak ke kantin Bila, ayo!" ajaknya semangat 45.

Nabila menoleh, "Males."

"Ayo ah ke buru ngantri nanti Bila," desis Khanza sambil menarik tangan Nabila untuk segera beranjak dari zona nyamannya.

Nabila menatap Khanza, menautkan kedua tangannya dan menunduk, "Uang saku aku hampir abis Za, belum lagi aku belum bayar spp bulan ini."

Khanza menatap Nabila iba, memang Nabila bukan dari keluarga berada seperti dirinya, tetapi Khanza tak mempermasalahkan itu, karena ia tak pernah menilai orang dari segi materi. Berteman dengan siapa saja selagi bisa membuatnya bahagia dan tak menjerumuskannya ke jalan yang salah.

Khanza tersenyum, "Tenang aku yang traktir kali ini." Sambil menaik turunkan alisnya.

Kini, mereka sedang berada di kantin, dengan pilihan jajanan yang hampir semua penuh dengan antrian.

"Za, jangan pedes-pedes kebiasaan, ck!" decak Nabila memperingati Khanza yang menuangkan cabai bubuk yang sangat banyak. Mereka sedang memakan bakso aci, atau yang lebih di kenal dengan boci. Salah satu makan favorit para santri karena memiliki rasa yang pedas, dan sangat menggiurkan.

Khanza menatap Nabila, kemudian melanjutkan kegiatannya, "Ini gak banyak kok, kurang malah."

"Terserah deh, jangan nyalahin Bila ya kalau kenapa-kenapa."

"Enggak kok bund," ucap Khanza sambil terkekeh pelan. "Pedesnya bikin seger, obat sakit kepala efek Matematika." 

Nabila ternganga melihat jajanan Khanza yang begitu banyak, yang seluruhnya hampir berurusan dengan cabai. Khanza memang gadis penyuka cabai, walaupun dirinya punya penyakit magh yang sering kambuh, namun ia hiraukan. Maka dari itu Nabila selalu mengingatkan nya untuk tidak memakan cabai secara berlebihan.

Setelah bell pulang berbunyi, keduanya memutuskan untuk kembali ke asrama putri, jarak tempuh yang di capai tidak terlalu jauh, keduanya berjalan kaki sambil mengobrol santai.

Khanza terlihat jengkel sambil berkacak pinggang, "Bila, kok buku aku gak ada si?" tanya nya setelah berada tepat di kamar mereka.

"Buku apa si?" Nabila menoleh, sambil menatap Khanza datar. Kebiasaan!

"Buku tugas Matematika."

"Mana di kumpulin besok lagi, aduh kemana sih," gerutunya kesal.

"Jangan di acak-acak juga Za, nanti aku lagi yang beresin." Peringatan Nabila pasrah. Khanza memang keras kepala.

"Yang ada nanti ga ketemu Bila!" sarkas Khanza.

"Makanya kalo naro jangan asal, kebiasaan!" gerutu Nabila, yang mulai kesal terhadap sifat ceroboh Khanza.

"Mana tugas banyak banget lagi, untung Gus Fikri ganteng, eh," cetuknya, kemudian menutup mulutnya yang sering berbicara tentang kebenaran.

Nabila mengedarkan pandangannya, menatap lekat dan menemukan apa yang sejak tadi Khanza cari.

Nabila mengacungkan buku itu, sambil menatap tajam Khanza, "Ini apa?"

Khanza menoleh, menatap Nabila yang memegang bukunya, akhirnya batinnya. Sang pemilik buku hanya dapat menyengir kuda.

Dasar Khanza!

****

Ustadz Harun yang mengisi kajian malam ini. Dengan tema Kewajiban Menuntut Ilmu. Semua para santri tampak menyimak apa yang di sampaikan Ustadz Harun. Namun, ada saja yang setiap waktu selalu menguap, menahan kantuk yang menyerangnya sejak tadi. Godaan syaitan beraksi.

"Ilmu sangat penting mengapa?" tanya Harun yang mulai menerangkan materi kajian malam ini.

"Karena ilmu sebagai pelantara (sarana) untuk bertaqwa. Belajarlah ilmu agama karena ia adalah yang paling unggul. Ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan taqwa, ilmu yang paling lurus untuk di pelajari. Dialah ilmu yang menunjukan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk."

"Keutamaan menuntut ilmu apa saja?" tanya Ustadz Harun.

Gadis itu mengangkat tangannya, "Dapat mengetahui kebenaran, amalan yang tidak akan terputus, dapat di angkat derajatnya, dan jalan menuju surga," jawabnya atas pertanyaan yang di berikan Ustadz Harun.

"Benar, dalam menuntut ilmu tidak hanya mengajarkan urusan keduniaan melainkan urusan akhirat pun sama, kita harus bisa menyeimbangkan diantara keduanya."

"Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Dan untuk melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengakuan bahwa kita sudah berIslam, itu sangat membutuhkan ilmu."

"Jika kita ingin menyandang kehormatan luhur, kemuliaan yang tak terkikis oleh perjalanan malam dan siang, tak lekang oleh pergantian masa dan tahun, kewibawaan tanpa kekuasaan, kekayaan tanpa harta, kedigdayaan tanpa senjata, kebangsawanan tanpa keluarga besar, para pendukung tanpa upah, pasukan tanpa gaji, maka kita mesti berilmu."

"Kunci utama keberhasilan dan kebahagiaan merupakan dapat menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat."

"Jadi, untuk para santri yang turut hadir di kajian malam ini, semoga semuanya bisa menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat agar dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki, selamat di dunia dan akhirat Aaamiin."

"Aaamiin Allahuma Aamiin."

_StartingFromAPesantren_

Jazakumullahu Khairan katsir.

Serang, 28 Oktober 2020.

Cara menghargai seorang penulis?
1). Klik tombol bintang di sebelah kiri, ingat jangan di klik dua kali.
2). Komentar sangat di butuhkan untuk kelanjutan cerita ini.

Myinsta: @fna_frqtnjh

See you^^

Starting From A PesantrenWhere stories live. Discover now