Sepolo

37 4 7
                                    

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.


Seng biasane nyawang teko adoh bengong, saiki teko cedek malah mbatu.

________________________________


Mara sibuk dengan buku di tangannya, dia mencoba menghafal rumus-rumus fisika berupa arus listrik. Sebenarnya otak Mara sangat kontras karena tidak menerima rumus tersebut dengan baik, otaknya menolak untuk mengetahui sebuah arus yang tidak terlihat oleh mata.

"I besar adalah kuat arus dengan satuan ampere,  q besar adalah muatan listrik dengan satuan coulomb, t adalah waktu dengan satuan sekon," ujar Mara berusaha menghapal dengan mengulang-ulang kalimat tersebut.

"Mar, lo ngapalin apaan?" tanya Bunga mencolek bahu Mara saat baru datang.

"Rumus fisika. I besar adalah kuat arus dengan satuan ampere," jawab Mara dengan terus menyambungkan hafalannya.

"Serius?"

"Q  besar adalah muatan listrik dengan satuan coulomb, serius. T adalah waktu dengan satuan sekon."

"Weh! Ada apanih? Kumpul-kumpul gak aja gue!" serang Sofi yang turut mendekat.

"I besar adalah kuat arus dengan satuan ampere,  q besar adalah muatan listrik dengan satuan coulomb, t adalah waktu dengan satuan sekon." Mendengar ujaran Mara Sofi langsung terdiam, persis seperti yang Bunga lakukan setelag bertanya pada gadis itu.

"Mar, lo gak apa-apa?" tanya Sofi khawatir dengan tingkah aneh Mara secara tiba-tiba.

"I besar adalah kuat arus dengan satuan am— Duh! Kalian gak usah ganggu dong!" pekik Mara sambil menggebrak meja membuat Doni mendekat karena ingin tahu. Kemudian Mara kembali ke aktivitasnya. "Dengan satuan ampere,  q besar adalah muatan listrik dengan satuan coulomb, t adalah waktu dengan satuan sekon."

"Mara kenapa?" tanya Doni pada Sofi dan Bunga yang langsung dijawab oleh gundikkan bahu oleh keduanya.

"I besar adalah kuat arus—"

"Kumara!"  Hafalan Mara terpotong dan buyar begitu saja dan hal itu membuat gadis tersebut geram ingin murka.

"Dibilang gak usah ganggu!" balas Mara teriak sambil menoleh ke sumber suara yang kemudian membeku dengan mata melebar. "RAFAR!" pekikan selanjutnya saat dia sadar. Sedangkan lelaki yang berdecak di ambang pintu itu hanya memasang muka datar.

"Bawa tas lo, terus ikut gue!" ujar Rafar terdengar keras dan tegas membuat semuanya jadi terpaku tidak percaya jika anak terpintar di sekolah akan menapakkan kaki di kelas terbodoh ini.

Dengan patuh, Mara langsung mengambil tas dan mengekori Rafar. Murid di kelas itu langsung pias begitu saja, perasaan mereka sangat  bingung dengan situasi yang terjadi.

"Jangan-jangan, Rafar suka sama Mara," monolog Bunga yang terdengar semuanya karena keadaan saat itu sepi tanpa suara. Doni reflek menegak, tulang rahangnya mengeras. Dengan kepalan tangan dia langsung keluar, menyusul kepergian Rafar dan Mara. Begitu pula dengan Sofi dan Bunga yang mengikuti.

Mara menabrak punggung Rafar yang berhenti tiba-tiba, dia memegangi kening sambil mengadu kesakitan. Rafar langsung membalik badan, dia merasa jengkel dengan gadis ini.

"Lo manggil gue kenapa? Kangen?" tanya Mara kemudian.

Rafar tidak langsung menyahut, dia membuka isi tas lalu mengeluarkan sebuah celana training berwarna merah muda. "Ini celana olahraga lo, ketuker sama punya gue."

Mendengar itu Mara langsung membuka tasnya juga. Dia menemui sebuah celana berwarna biru. Dan entah mengapa bibirnya jadi tersungging dengan mulai menatap Rafar dengan seringai.

Baju olahraga di sekolahnya memiliki dua warna, perempuan pink-putih sementara laki-laki biru-putih. Hal ini dilakukan sekolah agar ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki.

"Ih..., warna pink bagus lho, Rafar. Dulu kan lo sering pakai yang pink-pink gitu, lucu deh," ujar Mara sambil terkekeh dengan senyumannya.

Ujaran tersebut berhasil membuat Rafar mendelik tidak percaya setelah memasukkan celana trainingnya ke dalam tas. "Lo bilang apa?"

"Ini lho, lucu tauk!" pekik Mara memperlihatkan foto masa kecil Rafar yang memakai baju  dengan rok pink. Tangan Rafar langsung bergerak untuk mengambil. Namun Mara lebih dulu menyimpannya ke dalam saku rompi.

"Kasih gue," tekan Rafar.

"Enggak, ini kan kenang-kenangan. Kapan lagi punya fotonya Rafar seunyuk ini, hehe," kekeh Mara.

Rafar menahan kesabaran, perempuan di depannya sungguh mampu membuat emosi. "Gue masih minta baik-baik ya, siniin," pintanya sekali lagi.

"Gue dapet apa kalo ngasih foto ini sama lo?" tanya Mara dengan senyuman penuh arti, bahkan matanya sudah berbinar.

Firasat Rafar tiba-tiba tidak enak. Dia merasa akan diperas oleh gadis ini. Rupanya terlihat seperti rubah licik, apalagi bagian mata yang kini terlihat seperti kucing yang sedang menginginkan sesuatu.

"Ogah," ujar Rafar berniat pergi.

"Ih! Mau ke mana?" tanya Mara sambil mencegah.

"Lepas," sarkas Rafar menepis tangan Mara.

"Yaudah, kayaknya yang lain harus tau deh tentang foto unyuk ini," seru Mara berhasil membuat Rafar untuk pertama kalinya kalap takut, dia bahkan hampir menjerit.

"Jangan macem-macem," ancam Rafar. Mara tersenyum lebar, memperlihatkan gigi putihnya.

"Hehe, bantuin gue buat ada di peringkat 50 besar dong," ujar Mara dengan kekehan.

"Gak, enak di lo," jawab Rafar singkat.

"Yaudah gue sebarin."

"Dibilang jangan macem-macem," sentak Rafar sembari memegang tangan Mara kasar.

Mara menatap lekat pada mata Rafar yang fokus padanya. Dia tidak pernah membayangkan akan melihat Rafar dalam jarak sedekat ini. Ludahnya terteguk kasar saat meneliti setiap lekuk wajah Rafar. Mata bulat yang penuh pesona, pipi putih seperti tanpa cela,  dan bibir yang terlihat menggoda karena terasa tebal.

Astaga, Mara tidak bisa fokus untuk ini. Dia kalut sendiri, hanyut dalam pesona Rafar yang memabukkan. Jika lama-lama, hidungnya akan mimisan. Dengan segera dia memalingkan wajah tidak kuat sambil mengambil napas banyak-banyak setelah menahan beberapa saat.

"Gue cuma satu macem," ujar Mara dengan gugup tanpa melihat Rafar. "Lo ajarin gue belajar." 

"Secara gak langsung, gue bantuin lo buat jadi pacar gue," tekan Rafar dengan jarak yang sengaja dia kikis, karena dia tahu jika Mara kini tengah ketakutan akibat jarak yang dia buat.

"I-ya, eh enggak! Gue cabut deh yang itu!"

"Gue gak percaya."

"Lo harus percaya!" teriak Mara kemudian terkejut sendiri oleh suaranya. "Gue janji, sungguh," ujar Mara lirih setelahnya jadi takut saat dia melihat Rafar yang mengeluarkan sebuah smirk.





 Jangan Cium!  : Soobinحيث تعيش القصص. اكتشف الآن