bagian enam

Mulai dari awal
                                    

"Katanya kalo tatap-tatapan tujuh detik bisa jatuh cinta," ujar Jana ringan, membuat Asa melotot. Ada apa sih dengan kakak kelasnya ini?

"Mitos," ujar Asa pendek. "Itu meja masih banyak yang kosong."

"Emang ada larangannya gua duduk di sini?"

"Ada."

"Mana?"

Keheningan menyeruak untuk yang kedua kali. Asa menatap Jana dengan aura penuh permusuhan, sedangkan Jana dengan alis yang dinaik-naikkan.

"Daripada lo penuh dendam ke gua—dan berakhir jangan-jangan nanti gua jodohnya elo—mending lo bantuin gua," ujar Jana setelah selesai berhitung dalam hati. Tujuh detik. Meskipun, tatapan Asa masih penuh dengan kejengkelan. Mungkin, cewek itu berpikir Jana aneh atau apalah, yang Jana tahu, ia memang aneh—pada cewek di depannya ini saja.

"Males banget," ujar Asa sambil melirik buku-buku entah apa yang dibawa oleh Jana.

"Bukan bantuin ini. Gua baru inget nanti ada kuisnya Bu Refa, 'kan? Gua nggak seberapa ngeh sama materi akuntansinya."

"Males."

"Diiih, ilmu tuh harus dibagiin tau, Sa."

"Berisik."

"Ayo bantuin."

"Enggak ih."

Jana menyipit menatap Asa, sedangkan cewek itu sudah kembali menekuni buku sejarahnya.

"Oke, besok gua coba lagi," ujar Jana sebelum akhirnya berdiri. Ia lebih baik mengerjakan hukumannya dimanapun, asal tidak berdekatan dengan Asa, membuat konsentrasinya buyar.

Jana berakhir numpang di ruang OSIS bersama Genta yang sedang sibuk dengan proposal entah apa.

"Ta, lo nyesel nggak sih, masuk OSIS?" tanya Jana tiba-tiba di tengah kegiatan menulisnya, membuat Genta sontak mendongak.

"Nyesel apa dah?"

Jana mengangkat bahu. "Nggak tau. Kadang gua suka bingung aja sama lo, gimana bisa lo jadi juara satu, ngurusin OSIS, ikut lomba sana-sini, masih sempet main sama kita-kita lagi. Jangan-jangan lo robot kali ya, Ta?"

Genta tertawa. Ia berteman dengan Jana bukan karena sebuah kebetulan, melainkan sebuah proses.

"Lo inget nggak sih, dulu waktu kelas delapan ada apaan?"

Raut wajah Jana blank beberapa saat sampai akhirnya cowok itu tertawa. "Kok lo masih nginget-nginget hal itu sih?"

Genta mengangkat bahu, masih dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. Jana menyeletuk, "Sumpah sih, Ta, tapi dulu gua benci setengah mati sama lo, but it ended up you always there when I need help. Nggak cuma waktu itu aja, tapi setelah gua sadari,  ternyata banyak banget."

"Gua kenapa dulu mau-mau aja, ya, disuruh ngawasin elo mulu?" tanya Genta, diselingi kekehan. Ia sudah menutup proposalnya.

"Tapi lo annoying banget. Dikit-dikit ngadu ke Pak Karyo kalo gua ngelanggar."

"That's my duty, of course."

Genta mendengus geli. Dulu, waktu kelas delapan, ia menjadi koordinator divisi kedisiplinan, dan ia diberi kepercayaan oleh Pak Karyo, pembina OSIS, untuk mengawasi Bumi Janakarsa, anak pindahan dari SMP Negeri yang terkenal berandalan. Dan, memang benar.

Di hari pertama Jana masuk, Genta sudah bisa memberikan penilaiannya, yaitu 1) cadel, 2) sombong, dan 3) mewarnai rambutnya menjadi cokelat terang di hari pertama sekolah. Meskipun, Genta menyadari bahwa dirinya sombong, Jana sangat jauh lebih sombong darinya.

fluorescent adolescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang