"Lalu, apa yang dilakukan oleh kakekku?" tanya David.

"Kakekku" bisikku padanya.

"El, aku tak akan berdebat soal itu sekarang. Aku sudah cukup dewasa" kata David so' bijak.

"Baiklah, kakekku" kataku membuatnya panas sekali lagi.

"Kita adik-kakak, El" kata David melirikku lelah.

"EHEM" Mark berdehem dengan suara yang cukup keras, yang kami sadar ia sedang menyuruh kami untuk diam.

"Kami hanya berjuang melawan zombie-zombie itu dengan sekuat tenaga, tapi mereka terlalu kuat. Jelas, dengan perbandingan kami yang sedikit melawan hampir seluruh populasi dunia bukanlah hal yang mudah. Beberapa dari kami bahkan ikut terinfeksi dan berubah menjadi zombie. Para kaum pengecut yang frustasi memilih bunuh diri, menusukkan senjata ke tubuhnya sendiri, tak sanggup bila harus berubah menjadi zombie" kata Tn. Jonathan serius.

"Bodoh" ucap Loui pelan dari arah belakang. Astaga, ternyata anak-anak itu juga ikut mendengarkan.

"Di tengah keputus asaan, Daniel kembali dengan sesuatu di tangannya. Aku tak ingat apa itu, tapi kuyakin itu bukan senjata atau barang berat lainnya. Lalu setelah itu-..." Tn. Jonathan berhenti bercerita. Wajahnya terlihat kosong secara tiba-tiba.

"Lalu?" Mark bertanya, menunggu kelanjutan kalimatnya.

"A-aku tak ingat. Aku harus istirahat" jawab Tn. Jonathan. Ia berpaling meninggalkan kami dan masuk ke dalam rumah. Ny. Daisy menyusulnya.

"Tak apa, tak apa" ucap Ny. Daisy menenangkan suaminya itu. Suaranya perlahan menghilang dari pendengaran kami.

"Kurasa mau bagaimana pun kita tak bisa memaksanya untuk bercerita" kataku pada yang lainnya.

"Jadi, yang harus kita lakukan adalah mencari tau apa yang harus kita cari dalam gua dan bagaimana menghentikan semuanya?" tanya David.

"Kurang lebih seperti itu. Tapi melihat ekspresi Tn. Jonathan, kurasa ada hal buruk yang terjadi" kataku.

Menit demi menit terlewati. Hasil rapat kali ini, kami akan melanjutkan perjalanan esok hari untuk kembali ke lab super milik Profesor Regis. Perjalanan terakhir, dan semuanya akan selesai. Tak ada lagi kisah yang melelahkan, tak ada lagi ancaman yang menunggu kami. Semuanya akan selesai dengan perjalanan terakhir ini.

Malam tiba, kami sibuk menyiapkan barang-barang yang kami bawa untuk kembali. Senjata kami sudah siap dan berjajar rapi. Luka-luka kami sudah kami perban dengan kuat. Sesaat setelah aku selesai berbenah barang-barangku, anak-anak kecil itu menghampiri, menatap dengan iba.

"Apa kalian akan kembali?" tanya Kiona pelan. Matanya menunjukkan kesedihan.

"Mungkin. Aku harap begitu" ucapku sambil tersenyum, mengusap kepala anak itu.

"Kembalilah" kata Loui pelan, memalingkan wajahnya.

"Hm?" tanyaku memastikan.

"Aku tak mau kau mati" katanya pelan. Ia masih memalingkan wajahnya ke samping menghindari kontak mata denganku.

"Aku tak akan mati, Loui" jawabku pelan. Sebenarnya aku juga tak yakin dengan apa yang aku katakan.

"OH WELL, TAK ADA YANG BISA MENJAMIN! BERHENTILAH BERPURA-PURA TEGAR DAN JAGA DIRIMU AGAR BISA BERTEMU KAMI LAGI!" teriak Loui penuh amarah. Wajahnya memerah dan matanya sedikit berkaca-kaca.

"Loui!" seru Rei mengingatkan.

"Berhentilah bersikap kurang ajar pada yang lebih tua!" seru Kimora.

"APA? AKU HANYA MEMINTANYA UNTUK MENJAGA DIRI" kata Loui penuh penekanan.

"Loui..." kataku pelan.

"Apa?!" tanyanya kasar, masih dengan nada tinggi dan wajahnya yang merah menahan emosi.

"Tak apa bila kau ingin menangis" jawabku dengan sedikit senyum di wajahku.

Satu detik, dua detik, ia masih diam. Kami hanya mematung untuk beberapa detik sampai akhirnya tangisnya pecah. Ia menangis dan berlari untuk memukulku. Pukulannya jelas tak terasa sakit, hanya saja kenyataan bahwa aku harus pergi meninggalkan anak-anak ini membuat sedikit goresan di hatiku.

"Kau harus kembali! Kau harus kembali!" teriaknya sambil mencoba memukuliku. Pukulan lemah yang penuh rasa putus asa.

Aku hanya tersenyum kecut. Demi apapun, bila aku sanggup, aku akan bersumpah bahwa aku akan kembali menemui mereka. Sayangnya, aku pun bahkan tak yakin apakah aku mampu bertahan atau tidak.

"Tak bisakah kau tinggal di sini saja?" tanya Ziu pelan dari belakang. Ia sedikit menunduk dan memainkan jarinya.

"Maaf, Ziu" jawabku, membuatnya mulai menangis diam-diam. Badannya terlihat bergemetar.

Ini semua rumit. Tak ada perpisahan yang menyenangkan. Hal-hal seperti ini menguras lebih banyak energi dan mental. Dan kurasa yang kubutuhkan hanya istirahat.

Sampai jumpa esok, perjalanan terakhir.


------------------------------------

Belom beresan ya gais plis tungguin huhu seriusan aku insecure banget nggak ada ide. beberapa bab lagi selesai btw, stay tune ya!

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now