[MYSTERY; THRILLER • END]
Suatu pagi di akhir musim dingin, Avaline Ives tewas dalam sebuah kecelakaan. Itu terjadi tepat setelah dirinya mengundurkan diri dari komunitas liar para detektif.
Para penyidik menduga kecelakaannya disengaja, akan tetapi...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Aku pulang.
Ke rumah, tempat di mana aku lahir dan tumbuh sebagai manusia hingga dua hari lampau. Aroma kamboja tercium pekat. Duka masih mengalir sepanjang jalan, dari ujung tanah pertanian sampai persimpangan jalan utama. Meskipun rumah lebih ramai dari hari-hari biasa, nuansanya terasa hampa. Tamu yang berdatangan kian menipis jumlahnya, sebagian besar tinggal rekan kerja Mom dari pusat kota.
Hari ini hari terakhir tarup dipasang. Mom duduk lunglai di sofa tunggal, menerima salam dan beberapa petikan empati sekaligus sekejap pelukan hangat dari orang-orang. Terus menolak tawaran makanan. Sesekali dia mengobrol bersama mereka, tapi mendadak tatapannya berubah kosong. Dangkal, tanpa warna. Lebih sering melamun. Wajahnya cekung. Riasan bedak yang berusaha menyamarkan kantung mata tidak berhasil, masih terlihat sembab akibat menangisi putri satu-satunya yang tega meninggalkan ia sendiri. Hatiku terenyuh menyaksikan betapa nestapa dirinya. Aku tidak menyangka kami berpisah secepat ini.
Takkan ada lagi pertengkaran kecil di pagi hari mengenai baju-baju yang belum disetrika. Takkan ada lagi perdebatan singkat pelanggaran jam malam. Sulit bagiku membayangkan Mom tinggal sendiri di rumah yang penuh kenangan, tentang diriku yang sudah tiada, tentang Dad yang tidak pernah kembali, dan tentang-tentang lain yang siap menyayat hati.
Mungkin ia akan pindah ke permukiman padat penduduk untuk lari dari kesunyian. Dan suatu waktu tidak sadar telah berkendara ke rumah lama. Bukannya putar balik, Mom malah terisak di atas setir mobil. Aku bisa memperkirakannya.
Ayah tiriku datang, membantu Mom melalui masa-masa sulitnya. Dia masih berhati mulia seperti biasa, bersikap seakan-akan kami tetap keluarga yang utuh―andai saja begitu.
Dulu, aku selalu bertanya-tanya apa yang membuat Mom bersedia menikahi dosen biologi itu. Ketika tinggal bersama, aku masih sangsi dan terus-menerus menganggap kebaikannya sebagai pencitraaan semata. Namun tidak, perhatiannya bahkan tak kunjung habis walau kini sudah tidak terikat status keluarga. Jarang kutemukan pria seperti itu. Aku bangga mengetahui dia ada di samping Mom tatkala Mom sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang tersisa.
Seorang pria pastinya enggan memperlihatkan rasa sakitnya di depan umum, ia bahkan tak ingin menunjukkan pada dirinya sendiri. Aku tidak begitu dekat dengan ayah tiriku, tapi aku bisa menangkap rasa bersalah yang terlukis samar pada wajahnya. Dia pikir dia belum cukup baik menjadi seorang ayah bagiku. Ia pikir seharusnya bisa melindungiku.
Aku muak dengan kesedihan yang masih larut. Aku ingin berteriak kepada semua orang supaya berhenti mengasihaniku. Aku baik-baik saja di sini, hidup―setidaknya dalam kurun waktu 38 hari. Malahan, aku belum betul-betul paham atas kematianku sendiri. Rasanya tak adil; terlalu cepat; tanpa aba-aba. Siapkah aku melepas semua ini saat waktunya tiba? Sungguh perasaanku campur aduk.