[MYSTERY; THRILLER • END]
Suatu pagi di akhir musim dingin, Avaline Ives tewas dalam sebuah kecelakaan. Itu terjadi tepat setelah dirinya mengundurkan diri dari komunitas liar para detektif.
Para penyidik menduga kecelakaannya disengaja, akan tetapi...
Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
Aku tiba di markas Laskar Detektif pukul tujuh malam dan tidak menemukan Serro di mana pun. Sisa hari itu kuhabiskan dengan berkeliling, mempelajari setiap jengkal bangunan megah ini. Barangkali aku menemukan sesuatu yang berfaedah.
Dini hari sekali langit masih gelap, aku terjaga di serambi transparan. Pintu belakang dapur terbuat dari kaca, kau akan menemukan selasar tertutup di sana. Rupanya perancang desain gedung ini membayangkan tempat yang cocok untuk mengobrol bagi seorang ayah dan putranya yang hendak menikah, membicarakan nasihat-nasihat berkeluarga selagi sang ibu dan putrinya memasak makan malam. Momen yang bagus, dan selain ada di layar lebar juga hanya terjadi pada family goals yang kisahnya pantas diadaptasi menjadi film.
Pemandangan dari sini langsung mengarah ke halaman belakang markas, tanah kosong yang pepak dengan rerumputan liar. Suasana Neotsborne masih dapat terlihat meskipun terhalang tanaman jelek tak terawat, menyala di bawah pancaran bulan sabit. Cahaya metropolis berkelap-kelip menunjukkan aktivitas kota masih berlangsung. Gedung pencakar langit, supermarket, kondominium, hotel, perumahan.
Aku duduk melipat lutut, mengamati lampu temaram di ujung jalan berkelok yang meminta untuk segera diganti. Pikiranku berkelana. Pertemuan dua detektif kemarin siang menggelayuti kepala. Untuk saat ini tersangka teratas mereka ialah Laskar Detektif dan Avery. Mereka punya alasan kuat untuk menuduh keduanya. Teringat pula investigasi antara pihak polisi dengan para serdadu kala itu. Masih belum menghasilkan informasi menarik yang bisa memberi kami petunjuk. Aku memikirkan alternatif lain.
Jangan-jangan seseorang dari masa depan ingin memusnahkanku karena aku berbuat kesalahan yang fatal pada hidupnya di waktu mendatang. Mungkin saja versi lain diriku berhasil menemukan lubang hitam penghubung antar dimensi, dia berniat menyingkirkan seluruh doppleganger-nya yang ada di semesta supaya Avaline Ives hanya ada satu seorang. Tentu saja dia tahu di mana diriku tinggal dan dengan mudah melancarkan aksi tanpa babibu. Tapi sekeji itukah aku terhadap diri sendiri?
Atau yang lebih sederhana saja, barangkali ini memang sudah jalanku pulang. Namun Tuhan menolakku, malaikat meninggalkanku, iblis pun tak menawarkan rumahnya. Aku tidak punya cukup iman maupun dosa untuk mendapatkan di antaranya. Benarkah?
Sepertinya otakku korslet.
Tengah malam ini, atau pagi―entah sebutannya apa―lengang tanpa ujung. Serro tidak mampir, jadi tak ada teman mengobrol. Sebagian serdadu inti menginap, akan tetapi aku tidak tahu harus melakukan apa terhadap mereka. Bosan hampir membuatku mati dua kali. Kepala rasanya ingin meledak sebab dipenuhi teori-teori ketidakpastian yang dipaksakan.
Saking sunyinya hari, suara angin pun mampu terdengar. Apalagi bunyi sesuatu jatuh yang jelas-jelas bukan suara kucing, itulah yang berhasil ditangkap indra pendengarku.
Aku bangun dan melangkah ke dalam, mencari si pembuat kegaduhan.
Di ujung lukisan Sir Arthur Conan Doyle, terlihat sebuah bayangan hitam dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Gelagatnya suara tadi berasal dari kakinya yang terantuk kursi. Pada saat yang sama, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, jantungku berpacu kencang. Entah jantung yang mana.