27) Tentang Ayah Tania

829 96 0
                                    

Mobil yang mereka tumpangi sampai beberapa menit sebelumnya, setelah Toni memarkirkan mobil kedalam garasi, dia sudah tidak melihat Tania. Gadis itu sudah melesat masuk tanpa mengatakan apapun padanya. Sebenarnya kesalahan apa yang Toni perbuat sampai membuat gadis itu tak lagi ingin berbicara dengannya.

Langkah kaki Toni terhenti saat suara ibunya terdengar. "Toni, kamu sudah pulang? Kemana Tania?" Toni menghadap ibunya yang berjalan dengan membawa beberapa bungkusan ditangannya. Raut wajahnya terlihat sangat ceria, walaupun ibunya sering berpergian, dia tidak pernah menunjukkan betapa lelah ibunya itu. Toni tau kalau ibunya akhir-akhir ini sibuk karena mengurus toko roti yang dia punya, Toni tidak akan bertanya karena dia sudah tau kalau ibunya memang sangat menyukai kegiatannya itu.

"Dia da dikamar." Jawab Toni. "Kalau begitu Toni keatas bu." Setelah mendapat izin dari sang ibu, Toni segera menaiki anak tangga dan melempar tasnya diatas meja belajarnya yang ada dikamar.

Toni membersihkan dirinya yang gerah dan menjernihkan pikiran saat air dingin mengguyur tubuhnya. Toni mengingat Tania yang menghindarinya seharian ini, tapi kenapa Toni merasa resah saat Tania tidak ingin mengatakan apapun padanya. Ini rasa yang sangat asing namun berdebar. Apakah sekarang Tania sudah tidak membutuhkannya lagi? tidak membutuhkan perlindungannya lagi? Kalau iya maka Toni tidak bisa diam. Dia harus membuat Tania tetap didekatnya, apapun itu caranya. Entah mengapa dia belum siap jika Tania pergi.

Disisi lain Tania sedang bergulat dengan selimut. Tania harus memikirkan cara bagaimana menghindar dari Toni. Selama ini dia sudah merepotkannya dan juga ibu Toni. Dia tidak boleh terus-terusan bergantung dengan keluarga Toni, Tania harus mandiri dan tidak akan merepotkan mereka lagi, ini sudah keputusan yang bulat.

Saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, ketiga orang itu sudah berada diruang makan dengan keadaan yang hening, sesekali hanya suara dentingan peralatan makanan yang memenuhi ruangan. Tidak seperti biasanya mereka diam tanpa sesekali berbicara.

Ibu Toni yang melihat keganjilan ini berdehem dan angkat suara. Dia sudah risih melihat mereka tidak mengatakan apapun. "Apakah kalian bertengkar?"

Keduanya mendongak, mereka saling memandang sejenak dan Tania segera memutuskan pandangan itu. Tania mencengkram sendoknya erat dan bersuara dengan pelan. "Tidak bu, kami hanya.. kami hanya sedang memikirkan ujian minggu depan, ya kami memikirkan itu." Tania menjawab dengan gugub dan menundukkan kepalanya. Ini kali pertama dia berbohong kepada Ibu Toni.

"Baiklah, jangan terlalu memikirkannya Tania. Kamu tidak harus menjadi nomor satu, kerjakan sebisa kamu dan jangan terlalu berfikir keras. Itu bisa membuatmu sakit nantinya, hmm?" Suara ibu Toni sangat lembut. Tania merasa sangat bersalah disini.

Dengan kikuk Tania menganggukkan kepalanya. Toni yang berada disamping menatap Tania dengan terkejut. Dia jelas tau kalau sekarang Tania sedang berbohong. Prestasi Tania disekolah sangat bagus, Tania juga pintar dalam mata ujian apapun. Alasan kalau dirinya saat ini tengah memikirkan ujian tidaklah masuk akal. Disini Toni menyimpulkan kalau Tania sedang menyembunyikan sesuatu.

Pagi menjelang sangat cepat. Saat mereka makan malam kemarin, Tania meminta izin ibu Toni untuk keluar. Gadis itu mengatakan kalau dirinya akan belajar bersama dengan temannya sampai sore. Sejak kapan Tania memiliki teman yang begitu dekat, selama ini hanya Toni yang dekat dengannya.

Toni ingin ikut menenaminya tetapi mengingat kalau hari ini adalah hari peringatan kematian ayahnya, Toni tidak bisa pergi. Ditambah perkataan Tania yang tidak ingin mengganggu acara keluarga Toni membuat Toni tidak bisa melakukan apapun. Mau tidak mau dia harus membiarkan Tania pergi, toh itu hanya belajar bersama.

Dan disinilah Tania berada, didepan rumah yang dulu menjadi tempatnya berlindung. Tempat yang menyaksikan kehidupan Tania juga ayahnya. Tania berdiri tepat didepan rumahnya yang dia tinggalkan. Walaupun dia membenci ayahnya, dia tetaplah ayah kandungnya. Tania hanya memiliki ayah satu-satunya diduni ini. Sesekali menjenguk ayahnya tidaklah salah. Saat Tania ingin melangkahkan kakinya, sebuah tepukan dipundak membuatnya menoleh.

"Mencari siapa nak?" Seorang pria paruh baya. Pria itu bertanya kepada Tania yang akan mengetuk pintu.

Tania tersenyum dan menjawab. "Saya Tania pak, saya putri dari pak Fais pemilik rumah ini."

Terdapat raut terkejut diwajah pria itu, dengan cepat pria itu berkata. "Benarkah? Apakah kamu anak dari pemilik rumah ini?" Tania menganggukkan kepalanya. "Pak Fais sekarang berada dirumah sakit nak. Karena satu minggu yang lalu dia telah dipecat dari kantornya membuat dia mabuk-mabukan dan dua hari setelahnya dia mengalami sebuah kecelakaan."

Jantung Tania berdetak kencang, apa yang dikatakan pria itu membuat Tania merasa sangat sedih. Bagaimana bisa ayahnya mengalami semua ini. Dipecat dari kantor dan mengalami kecelakaan. Tania tanpa sadar mulai menangis, dia hanya memiliki ayahnya, apakah tuhan akan merebutnya juga. Seberapa benci Tania, ayahnya masilah ayahnya. Mendengar itu semua membuat kebencian itu hilang seketika. Mendengar itu semua membuat luka dihati Tania ikut pudar dan menyisahkan kenangan-kenangan mereka berkumpul bersama.

Dengan linglung Tania berjalan menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Pria itu mengatakan kalau keadaan ayahnya sangat buruk, kecelakaan itu membuatnya koma selama dua hari ini.

Tin tin

Tanpa sadar sebuah klakson mobil mengagetkan Tania. Tania tidak sadar kalau dirinya berada ditengah-tengah jalanan. Untung saja mobil itu tidak menabraknya. Tania ingin mengatakan maaf saat dia melihat siapa orang yang berada dibalik mobil itu. Disana ada ketua kelas, Dika.

"Tania? Kenapa kamu ditengah-tengah, bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Dika mendekat dan mengingatkan Tania yang masih linglung. Tatapan matanya terlihat kosong. "Tania? Kamu baik-baik saja?"

Tania menatap Dika, dengan terbata dia menjawab. "Aku.. aku tidak apa, aku akan pergi kalau begitu." Saat akan melangkah, lengannya ditahan oleh ketua kelas. Tania menoleh dan memiringkan kepalanya tanda tidak mengerti.

"Apa terjadi sesuatu, apakah butuh bantuan?"

Kalau ketua kelas membantu Tania dengan menerima tumpangan maka Tania akan segera sampai dirumah sakit. Ketua kelas sangat baik, apa salahnya dia menerima tawaran dari ketua kelas.

Tania menjelaskan singkat tentang ayahnya yang masuk rumah sakit. Ketua kelas yang mengerti akhirnya mengantar Tania ditempat ayahnya dirawat. Ketua kelas tidak merasa keberatan, membantu teman juga tidak masalah.



Unusual Abilities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang