• 3 • Hitung Mundur

Mulai dari awal
                                    

Kujawab pada diri sendiri: Ya. Aku benar mati. Dan kini hidup keduaku bakal berlangsung menyedihkan. Enam minggu ke depan, akan datang kematian terakhirku.

• •

Aku meringkuk di sudut ruangan, terjepit etalase usang yang penuh dengan kotoran. Bangunan rendah seluas 210 yard ini sebentar lagi akan roboh, sudah terlalu lama berdiri tanpa perawatan. Apalagi dinding-dindingnya keropos di makan rayap. Bagian depan kios terlalu terlihat, sinar matahari dapat masuk dan menyinari sampah daun yang tertiup angin dari kawasan hutan. Di belakang meja tinggi masih terdapat barang-barang rusak yang beberapa tahun sebelumnya pasti masih berfungsi. Ruangan dalam yang dipisahkan oleh sekat tak menarik dikunjungi, sisa makanan milik kucing atau binatang apapun yang pernah kemari berserakan di lorongnya. Jadi aku memilih tempat paling mendingan di pojok, meskipun aku yakin seluruh sisi tempat ini sudah dijelajahi tikus. Bangunan ini sungguh ditinggalkan untuk menjadi toko hantu. Tidak benar-benar dikosongkan, tidak ada yang nekat mengangkut perkakas yang tersisa. Dan ternyata alasan paling tepat toko material ini kapiran sampai sekarang adalah sebagai tempat menyendiri seorang arwah.

Aku kemari untuk bersembunyi, entah dari apa. Mencari sahabat yang banyak dibenci orang: kegelapan-bersamanya merenungi betapa mengecewakan takdir bertindak.

Seluruh tubuhku mati rasa. Aku tidak bisa merespon cubitanku sendiri, seolah yang kulakukan hanyalah imaji. Oh. Tentu saja, aku arwah. Arwah tak perlu makan, minum, tidur, serta hal-hal semacamnya. Arwah tidak bisa merasakan sentuhan fisik. Arwah tak kasat mata di penglihatan manusia. Arwah tidak memproduksi air mata, itu sebabnya aku terpuruk tapi tidak menangis. Maka kukatakan pada diriku sendiri, "Selamat datang di kehidupan baru."

Pagi ini pasti udara terasa dingin, menyusup dari celah-celah dinding. Hampir seharian aku mendekam tak berdaya―mencoba berteman dengan rasa sepi, sebab nantinya aku akan selalu sendirian. Bayangan itu membuatku takut, bergentayangan tanpa digubris seorang pun. Bisa jadi seekor anjing menyalak apabila aku mendekatinya. Bagaimana dengan hewan lain?

Aku merasa lelah tidak bisa melakukan suatu hal. Yang kukerjakan hanyalah berpikir dan berpikir lebih keras untuk meledakkan isi kepala.

Pada akhirnya kubiarkan ingatanku berkelana jauh, sangat jauh dari masa kini. Mengunjungi memori asing yang masih tersimpan rapi.

Pergilah tidur sebelum matahari bangun
Bayangkan kau berbaring di padang rumput nan hijau
Tutup matamu atau jatuhkan daun-daun
Tak perlu takut sendiri, ku menjagamu

Hewan-hewan datang, ingin berteman
Siapapun mengagumi dengkuranmu
Oh gadis kecil yang menawan
Bermimpinya jangan buru-buru

Boleh bangun asal bahagia
Tersenyumlah, jangan coba-coba menangis
Buka matamu ketika kau baik-baik saja
Jangan mencariku, aku di belakangmu, manis

Dad selalu menyanyikan lagu itu padaku. Setiap pulang bekerja, dia memangku tubuh mungilku di sofa ruang tengah. Televisi dibiarkan menyala tanpa suara. Dengan nada bercanda Mom mengadu kesulitan membuatku tidur. Kemudian Dad mulai bersiul merangkai nada-nada dasar, menambahkan lirik yang selalu berganti tiap malamnya, menjadi sebuah lagu ciptaannya sendiri. Lagu yang berhasil membuatku terlelap di pangkuannya.

Tidak. Suaranya tidak sebagus yang kau bayangkan. Biar begitu, aku merasa terhubung dengan Dad setiap kali mengingat melodinya. Entah bagaimana kenangan itu sedemikian kuat, padahal aku masih berusia tiga tahun. Kini sudah 13 tahun berlalu dan aku masih berandai-andai bisa bertemu dengannya lagi.

Sang surya hampir membumbung tinggi. Hari sudah siang ketika aku bangkit meninggalkan toko.

Kamis. Sehari setelah kematianku.

After I DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang