ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ˢᵉᵖᵘˡᵘʰ

19 8 0
                                    

Aku menatap tetesan hujan yang turun dengan sangat deras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku menatap tetesan hujan yang turun dengan sangat deras. Setelah memaksaku pergi dari makam itu, Agustus membawaku berteduh di pondok kecil yang ada di pintu masuk area pemakaman.
      
“Kenapa kamu menggangguku?” tanyaku masih tak terima dengan perilaku Agustus.
      
“Aku pikir, kamu akan terlambat berangkat kerja jika aku tidak menegur mu. Kamu terlihat sangat fokus saat itu. Seolah-olah ada di dunia lain,” jawabnya.
      
Aku memilih diam, tidak menanggapi jawaban Agustus. Mataku sibuk memperhatikan tetesan hujan yang jatuh sangat cepat. Apa mereka kesakitan? Tetesan air yang jatuh itu. Apa mereka kesakitan? Semesta memang terkadang suka bercanda. Awan-awan cerah yang sangat mencintai langit itu diubah menjadi butiran-butiran air yang terpaksa jatuh, meninggalkan langit yang tampak tak rela.
      
“Kamu tidak bertanya kenapa aku di sini?” tanya Agustus membuat kesadaran ku kembali.
     
Aku menggeleng. “Aku tidak tertarik. Itu urusan pribadimu.”
      
Mendengar jawabanku, Agustus tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya. “Aku tadi habis mengunjungi kedua orang tuaku. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku.” Agustus berbicara bahkan tanpa kutanya.
      
“Hadiah apa yang kamu berikan?” tanyaku.
      
“Tidak banyak, hanya kesuksesanku. Mereka meninggal 17 tahun lalu karena kecelakaan mobil. Beberapa menit sebelum kecelakaan, ibuku bilang jika aku menjadi orang sukses di masa depan, ia akan sangat bangga.”
      
Aku menoleh ke arahnya yang berdiri di sampingku. “Kecelakaan mobil 17 tahun lalu?” aku kembali memastikan. Kata “kecelakaan” dan “17 tahun lalu” sangat sensitif bagiku.
      
Agustus mengangguk membenarkan. “Saat itu tanggal 31 Desember, hari ulang tahunku. Kami bertiga pergi untuk merayakan ulang tahunku di restoran yang sudah dipesan ayahku. Restoran itu adalah restoran yang kita kunjungi beberapa hari lalu.”
     
Aku hanya terdiam. Pikiranku melayang ke tempat lain saat Agustus mengatakan “31 Desember”.
      
“Aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Namun tiba-tiba, sebuah bus berjalan dengan sangat kencang ke arah kami. Sedetik kemudian, mobil kami terguling. Ibuku berusaha melindungi ku dengan memelukku sekencang mungkin. Saat mobil yang kami tumpangi berhenti bergerak, aku tidak merasakan apapun. Aku sama sekali tidak merasakan sakit. Orang-orang berteriak dari luar, aku sama sekali tidak mendengar itu. Yang kudengar hanyalah ….”
      
“Rintihan.” Aku memotong perkataan Agustus dengan cepat. “Rintihan orang yang merasakan kesakitan, berlomba ingin diselamatkan, memohon untuk diberi kesempatan,” sambung ku dengan air mata yang sudah mengalir dengan sangat deras.
      
31 Desember 2003. Tidak ada yang mengingat pasti kejadian besar apa yang terjadi di hari itu. Sebuah bus yang kehilangan kendali menabrak sebuah mobil sedan yang sedang berjalan. Tidak ada yang selamat dari kecelakaan itu kecuali dua anak kecil. Salah satunya adalah aku.
      
Selama ini aku bertanya-tanya, siapa anak lainnya yang selamat? Apa dia menjalani kehidupan yang baik selama ini? Apa dia bersyukur dapat selamat dari kecelakaan maut itu? Tanpa kusadari, anak lainnya itu adalah seseorang yang berdiri di sampingku. Langit Agustus.
      
Aku membuang napas ku dengan kasar. “Sepertinya kamu hidup dengan baik, Gus,” komentarku.
     
Agustus menggeleng. “Tidak ada yang benar-benar baik setelah kehilangan seseorang yang pernah dijadikan pusat dari bahagianya, Feb.”
      
Ada jeda beberapa menit sebelum Agustus kembali berbicara. “Aku penasaran bagaimana keadaan satu anak lainnya yang selamat. Apa dia menjalani kehidupan yang lebih baik dariku?”
      
“Tidak.”
      
“Jika aku diberi pilihan, Feb. Aku memilih untuk mati saat itu daripada aku harus menjalani hari-hariku sendiri.”

***
      

Aku tersenyum cerah saat melihat seorang laki-laki yang sejengkal lebih tinggi daripada aku itu berlari sambil membawa kopernya menuju tempatku berdiri. Setelah dua bulan tidak bertemu, aku akhirnya bisa melihat wajahnya lagi.
      
“Aku sangat merindukanmu, Put.” Aku memeluk laki-laki itu dengan erat.
      
Ezra Putra. Satu-satunya teman yang aku miliki. Entah sejak kapan kami mulai berteman. Tapi satu hal yang pasti, dia sangat berarti bagiku. Dia sudah kujadikan pusat dari segalanya. Bahagia, sedih, marah, dia adalah pusat dari semesta yang aku buat sendiri.
      
“Apa kamu bermain dengan orang lain saat aku pergi?” tanya Putra setelah melepaskan pelukannya.
      
Aku menggeleng. “Sudah kubilang berapa kali padamu, aku tidak membutuhkan apapun lagi selain kamu.”
      
Putra mengacak-acak rambutku gemas. “Dari buku yang aku baca, tidak baik menaruh segalanya pada seseorang, Feb. Karena jika suatu saat orang itu menghilang, kamu tidak punya apa-apa lagi selain rasa kecewa yang lama-kelamaan akan membunuhmu.”
     
“Apa kamu akan menghilang, Put?” tanyaku dengan nada suara sedih. Mataku sudah mulai berkaca-kaca.
      
“Tentu saja tidak.” Putra menenagkanku.
      
Aku tersenyum riang menunjukkan dua gigiku yang ompong saat mendengar jawabannya. “Kalau begitu, aku tidak salah menaruh segalanya padamu.”
      
Putra tersenyum mendengar perkataanku. “Ayo masuk ke dalam mobil! Udaranya dingin,” perintahnya sambil menggengam tanganku agar aku tidak tertinggal langkahnya.
      
Saat kami sudah berada di pintu keluar bandara, langkahku tiba-tiba berhenti, membuat langkah Putra juga berhenti.
      
“Ada apa?” tanyanya dengan keheranan melihat tingkahku.
      
“Aku tidak ingin naik mobil, Put. Aku ingin naik bus. Ibu selalu melarangku naik bus karena tidak ada yang menemani,” jawabku.
      
“Kita naik busnya besok saja, ya?” Putra berusaha membujukku.
      
Aku menggeleng tidak mau. “Aku inginnya sekarang, Put.” Putra berubah menjadi malaikat pelindungku
      
Setelah beberapa kali mencoba untuk membujukku dan gagal, Putra akhirnya menyerah. Seperti perkataannya, aku memang keras kepala. Kami meninta izin pada orang tua masing-masing lalu segera pergi menuju halte yang tak jauh dari bandara.
      
Meskipun umur kami masih 6 tahun, ibuku sama sekali tidak khawatir membiarkanku pergi berdua saja dengan Putra. Mau tahu alasannya kenapa? Karena Putra adalah orang yang sangat pintar. Dia bisa berubah menjadi apapun yang orang lain butuhkan. Saat ini, dia sedang berubah menjadi peta sehingga kami tidak akan tersesat.
      
Aku duduk di kursi dekat jendela, tempat favoritku sedangkan Putra mengalah dan duduk di sampingku.
      
Selama perjalanan, Putra selalu bercerita tentang apa saja yang dia lakukan di Swiss dengan sangat bersemangat hingga tiba-tiba, bus yang kami tumpangi menjadi tidak terarah. Busnya selalu menukik tajam ke arah kiri dan kanan secara bergantian hingga puncaknya, bus yang kami tumpangi itu menabrak sebuah mobil dan terguling.
      
Putra dengan sigap memelukku dengan erat agar aku tidak terlempar ke luar. Telapak tangannya menutupi wajahku agar tidak terkena pecahan kaca. Aku bisa melihat dari sela-sela jarinya, tubuhnya penuh dengan darah. Kakinya tertancap besi. Mulutnya tertutup rapat berusaha menahan rasa sakit. Meskipun begitu, dia tetap memelukku.
      
“Apa kamu baik-baik saja, Put?” tanyaku khawatir dengan suara yang bergetar.
      
“Dengar ini, Feb. Bulan memang jauh, tapi dia tidak pernah meninggalkan bumi.” Setelah perkataan itu, aku tidak lagi mendengar suarnya, tidak tersa lagi deru napasnya, pelukannya tak tadinya sangat erat kini mulai mernggang dan beberapa saat kemudian terlepas.
      
Bahkan disaat-saat terakhirnya, Putra masih bisa berubah. Dia berubah menjadi malaikat pelindungku.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang