ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵀⁱᵍᵃ

39 18 8
                                    

Jam menunjukkan pukul delapan pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Aku segera mengemas barangku setelah aku menutupi cekungan hitam yang ada di area mataku dengan bedak. Ya, lagi-lagi malam ini aku tidak tidur karena aku sibuk mengedit foto. Ah, ralat. Karena aku tidak ingin tidur.

"Nyonya, Anda sudah dua hari tidak makan." Suara Jackson muncul saat aku sedang memasukkan laptop-ku ke dalam ransel.

"Aku akan sibuk hari ini, Jackson. Jadi jangan bersuara kecuali aku yang memanggilmu terlebih dahulu. Apa kamu paham?" tanyaku dengan pandangan yang tak luput dari dua buah tas tenteng besar berisi alat-alat fotoku. Mungkin, aku harus mempertimbangkan untuk membeli mobil agar aku tidak perlu menenteng dua tas yang beratnya masing-masing lima kilo ini ke dalam bus.

Setelah siap, aku segera pergi menuju halte bus yang jaraknya sekitar 50 meter dari tempat kosku. Seperti biasa kota ini sudah dipadati lautan manusia di pagi hari. Aku harus menerobos kerumunan orang yang berjalan di trotoar dengan cekatan agar aku tidak terlambat.

Memang, memiliki sebuah mobil terdengar lebih efektif untuk mempermudah urusanku. Apalagi, harga mobil dan pajak di kota ini cukup rendah. Ya, sesuai lah dengan kantongku yang tak seberapa ini. Tapi, jika aku membeli mobil, aku akan turut ikut sebagai satu dari jutaan orang lainnya yang merusak bumi. Asap mobil bisa menimbulkan pemanasan global dan merusak lapisan ozon. Akibatnya, mungkin manusia akan punah dalam beberapa abad lagi karena suhu bumi yang sangat tinggi.

Selama hidupku, aku sudah berusaha keras untuk tidak merusak alam. Seperti tidak pernah menyalakan pendingin ruangan dan kulkas, tidak menggunakan plastik, selalu menggunakan kendaraan umum. Aku tidak ingin reputasiku sebagai manusia yang ramah lingkungan tercoreng karena keegoisanku ingin membeli mobil untuk mempermudah urusan. Aku harus membalas kebaikan bumi yang sudah memberiku kehidupan.

Ya ... setidaknya 17 tahun lalu, saat aku merasa benar-benar hidup. Tidak seperti sekarang. Aku hanya "ada".

Setelah beberapa kali berhenti, aku akhirnya tiba di halte tujuanku yang untungnya berada di seberang perusahaan yang akan aku tuju. Jadi, aku hanya perlu menyebrang jalan dan masuk ke dalam pintu utama perusahaan. Di sana pasti banyak orang, jadi aku bisa meminta tolong untuk membawa barangku yang super berat ini.

Setelah lampu penyebrangan jalan menunjukkan warna hijau, aku langsung menyebrang dan berjalan menuju pintu masuk. Sesuai harapanku, banyak sekali orang yang berlalu lalang di lobi perusahaan. Namun sayangnya, semua tampak sangat sibuk. Ada yang membawa berkas, menelpon orang, bahkan makan sambil berjalan.

Aku menghela napas pasrah. Tampaknya, aku harus berjuang lebih keras lagi hari ini.

Saat aku hendak berjalan, seseorang mengambil tas besar yang aku tenteng di tangan kananku. Refleks, aku menoleh dan melihat seorang pria yang tampak sangat rapi dengan setelan jas berwarna cokelat tua serta rambut yang disisir dengan rapi.

"Ayo, biar aku bantu." Agustus hendak berjalan, namun aku menghentikannya.

"Berikan padaku tas itu!" perintahku dengan suara datar.

"Kamu sudah memegang satu tas berat di tangan kirimu dan satu tas lagi di punggungmu. Itu pasti sangan berat. Biarkan aku membawakan tasmu yang ini." Agustus mengangkat tas tenteng milikku yang digenggamnya.

Aku menggeleng. "Bisa-bisa, mereka menuduhku telah berbuat kurang ajar padamu. Kembalikan tasku, aku tidak ingin terlambat sampai ke lokasi." Aku mengulang perintahku dengan tegas.

"Mereka tidak akan begitu," kata Agustus dengan sangat yakin.

"Iya, mereka tidak akan begitu jika ada kamu. Apa kamu tahu, yang akan dikatakan mereka saat kamu tidak ada?" aku bertanya padanya.

Agustus terdiam sebentar lalu ia membuang napas pasrah. "Baiklah, kalau maumu begitu." Ia meletakkan tas itu di lantai dan berjalan meninggalkanku. Tidak, jangan bilang aku menyesal karena telah menolak niat baiknya. Aku sangat bersyukur, karena dia bisa mengerti apa yang aku pikirkan.

Tidak seperti orang-orang sialan di luar sana.

***

Sekitar pukul 3 sore, akhirnya pemotretanku siap. Perutku sudah keroncongan beberapa jam yang lalu. Mungkin kalau aku tidak kunjung makan, aku bisa pingsan. Sebenarnya tidak ada masalah besar. Toh, tujuan hidupku hanya membuat kematianku semakin cepat. Tapi, aku tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. Ada lusinan foto yang harus aku urus dan aku serahkan kepada perusahaan. Aku tidak bisa sakit. Setidaknya tidak saat ini.

Saat aku sedang menunggu bus yang tak kunjung datang, sebuah mobil sport berwarna merah mencolok yang terlihat keren dengan bagian atasnya terbuka berhenti tepat di depanku.

Aku refleks berdecak sebal saat aku melihat pengemudi yang berada di dalam mobil itu. Kenapa aku harus bertemu dia lagi?

"Masuklah!" Agustus memberiku perintah.

Apa dia pikir aku babunya sehingga dia bisa seenaknya menyuruhku? "Tidak," tolakku mentah-mentah.

"Bus tidak akan datang hari ini karena mereka sedang demo. Apa kamu mau menunggu di sana seharian? Bukankah kamu bilang kamu bukan orang yang suka bermain-main? Aku yakin kamu tidak akan membuang waktumu yang berharga untuk menunggu bus yang tidak akan datang," oceh Agustus yang berhasil membuatku berubah pikiran.

Dengan enggan, aku masuk ke dalam mobilnya. Agustus tampak tersenyum puas saat aku memasang sabuk pengaman tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.

"Seharusnya kamu membeli mobil. Apa kamu tidak lelah mengangkat tas-tas besar itu?" tanya Agustus sambil menjalankan mobilnya dengan kecepatan rendah.

Aku menghela napas. Orang seperti dia tidak akan bisa memahami jalan pikiranku. "Aku lebih baik kelelahan daripada membunuh orang lain," jawabku.

"Apa maksudmu?" sudah kutebak, orang seperti dia tidaka akan bisa memahami jalan pikiranku.

"Jika aku membeli mobil, aku akan turut berpati sipasi dalam meningkatkan pemanasan global yang akan membunuh jutaan orang beberapa abad mendatang. Aku juga akan membuat penghasilan supir bus menurun dan mereka bisa saja kelaparan. Jika aku beli mobil, aku bisa membunuh orang," jelasku yang langsung ditanggapi dengan anggukan dari Agustus.

"Cara berpikirmu diluar nalar," ocehnya. "Oh, omong-omong, aku mau minta maaf. Sebelumnya, aku tidak paham kenapa kamu begitu marah padaku saat aku membatalkan jadwal pemotretan secara tiba-tiba. Namun, saat tadi pagi aku melihatmu menentang tas berat itu, aku jadi paham kenapa kamu sangat marah. Pasti kamu sangat lelah menentang tas-tas itu. Maka dari itu, aku menyeseal dan meminta maaf sebesar-besarnya."

Belum sempat aku menjawab perkataanya, sebuah bus yang menuju tempat kosku melintas di jalan. Refleks, aku menatap Agustus yang kini tengah tersenyum jail.

"Dan maaf juga, aku harus membohongimu agar kamu mau masuk ke dalam mobilku."

Sialan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang