Part 11

53 24 29
                                    

Di antara kebekuan yang terjadi seolah sedang disihir oleh kekuatan yang tak tampak, Tinky beruntung bisa sadar duluan dan segera menjauhkan dirinya dari Ray. Pikirannya otomatis dipenuhi hinaan yang Ray lontarkan di kelas.

Tidak, gadis itu tidak sudi mendengar siaran ulang.

"Kenapa malah jadinya lo yang jijik sama gue? Bukannya seharusnya gue yang jijik deket-deket sama lo?" protes Ray sembari bersandar di ambang pintu. Ditilik dari kestabilannya merespons, ternyata dia masih setengah sadar. Tatapannya tidak senang, bahkan ekspresinya masih bertahan saat menenggak minuman favoritnya di hadapan Tinky.

"Kalau nggak ada yang mau diomongin, gue balik ke kamar."

Ray menuding ke arah Tinky. "Tuh, kan, gue bener! Lo niru gue, 'kan? Sejak kapan ucapan lo jadi dingin gitu? Itu kata-kata gue, ngerti?!"

"Lo udah mabuk," ujar Tinky dengan nada menutup pembicaraan dan langsung berbalik, tetapi suara Ray terdengar lagi padahal pijakannya belum genap dua langkah.

Ray menggeleng. "Gue nggak pernah mabuk karena batas toleran alkohol gue tinggi. Nggak kayak lo yang baru minum dikit aja udah ambruk."

Sudut bibir Tinky naik sedikit usai berbalik kembali. "Orang mabuk memang nggak pernah mengakui kalau dia mabuk."

"Kalau gitu biarkan gue mengumumkan sesuatu," tukas Ray, lantas menegakkan punggung dan menghampiri lawan bicaranya.

Meski ditanggapi secara impulsif dengan bergerak mundur, pada akhirnya Tinky tidak mempunyai pilihan ketika punggungnya menyentuh dinding pualam di belakangnya sementara Ray, seakan tidak cukup mengintimidasi, menopang telapak tangan ke tembok sebagai aksi posesifnya.

Posisi mereka jelas terlalu dekat sekarang.

"Gue mungkin memang mabuk atau mata gue terpejam, tapi gue tau siapa yang memperhatikan gue." Ray menatap dengan terlalu intens seolah menunjukkan sebesar apa pengaruhnya pada saat ini.

Hanya satu kalimat bernada datar, tetapi berhasil membuat isi perut Tinky serasa diaduk seperti baru turun dari wahana permainan berkecepatan tinggi. Ini disebabkan karena kalimat terakhir Ray persis dengan kata-kata sewaktu mereka duduk bersama di masa SMP.

Kenyataan Tinky ketahuan memperhatikan Ray secara diam-diam, membuat rona merah di pipinya meradang. Untuk menutupinya, dia menunduk sedalam-dalamnya.

"Dan sekarang gue lebih sadar dari biasanya karena gue baru minum setengah," kata Ray sambil mengangkat botol belingnya pada Tinky untuk memamerkan isinya. "Maka dari itu, gue mau lo jelasin sekarang juga! Kalau lo manusia dan bukannya binatang, seharusnya lo tau posisi lo seperti apa!"

"...."

"Kenapa lo bisa suka sama gue, padahal jelas-jelas lo sedarah seayah sama gue?"

"...."

"JAWAB!" hardik Ray, bertepatan dengan gayanya melempar botol beling sebagai pelampiasan, menyebabkan pecahannya menyebar ke mana-mana. Sialnya, salah satu pecahan menggores pipi kanan Tinky. Tetesan darah yang menyusul segera memberitahu Ray sedalam apa goresan itu. Air matanya juga menetes, tetapi tangisannya bukan karena luka di pipi, melainkan rasa sakit yang bersumber dari dalam hatinya.

Luka yang sekali lagi ditoreh teramat dalam, melebihi rasa sakit pada wajahnya.

"Oke, biar gue jelasin," jawab Tinky dengan nada dingin meski kesannya jadi tidak sinkron karena air matanya semakin menetes deras. "Gue akuin gue suka sama lo. Tepatnya kapan, gue nggak tau. Yang jelas waktu gue perhatiin lo tidur di kelas, gue udah sadar sama perasaan gue."

Tinky menarik napas panjang dan mendongak agar tangisannya tidak semakin parah. "Soal sekarang, itu bukan perkara suka lagi, tapi perasaan bersalah. Perasaan itu udah hilang waktu gue tau lo punya hubungan darah sama gue. Jadi, jangan salah pikir. Lo fokus aja sama calon tunangan lo dan nggak usah—–"

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang