8 | kenapa mereka manggil banci?

28 7 13
                                    

"Mau ke fotokopi, tan. Nanti turun depan gerbang aja."

Ibu Silmi ber-oh pelan. Masih memperhatikan jalan raya yang mulai macet. "Yakin nggak masuk aja? Ini udah gerimis gini, loh. Siapa tahu nanti ada yang bawa printer di sekolah."

Zea berpikir sebentar. Air dari langit yang jatuh ke tanah mulai jadi pertimbangan. Ia mengangguk, "Oke deh, tan." Dan gerimis mulai melanda. "Kalau tante kenapa ke sekolah? Hari ini kan nggak ambil rapor, cuma ada ekskul."

Ibu Silmi tersenyum lagi. "Ada urusan aja, Zea."

Zea mengangguk. Sebenarnya ia penasaran ada urusan apa. Namun ia agak memaklumi, mungkin hal privasi. Tidak ada percakapan selanjutnya sampai ponselnya iba-tiba bergetar.

15%

Yah, dikira notif message.

Harusnya Zea enggak nontom drama asia semalaman. Digenggamnya erat benda tipis itu sambil matanya memandang jalanan yang telah basah, becek di mana-mana. Motor-motor menepi, mengenakan jas hujan di depan ruko.

Zea tersenyum. "Eum, Tante, makasih banyak, ya tadi. Maaf banget ngerepotin tante sama Silmi. Makasih udah ditraktir. Makasih juga udah bersedia aku tumpangin, hehe."

Zea agak gugup. Dia keterlaluan nggak sih? Udah ditraktir, diantar ke sekolah pula! Dan sekarang, dia cuma bisa memainkan jari.

Seulas senyum muncul pada bibir ibu Silmi. Wanita 39 tahun yang berjiwa fashion itu terkekeh. "Nggak apa-apa kok, Zea. Justru tante seneng bisa ajak temen Silmi sekalian."

Zea, malu-malu mengangguk. Ia lega mendengarnya.

"Btw, mau lanjut SMA ke mana?"

Gadis di belakang jok utama itu terdiam agak lama. Otaknya memogram banyak hal. Ia bahkan tidak terlalu memikirkannya. "Paling yang deket, tan, hehe."

"Deket tuh di mana, Ze?"

Ze.

Zea merasa lebih terpanggil, aneh rasanya. Dia merasa senang ibu Silmi memanggilnya dengan nama depan, seperti seseorang yang sudah akrab. Aduh, lebay deh Zea!

"Penginnya ngejar SMANSa karena deket sekolah sih, banyak juga temen kelas yang mau ke sana. Tapi..."

"---Tapi?"

"Di sana cuma buat orang yang prestasinya tinggi-tinggi, tan. Dari yang tingkat kota sampai internasional katanya ada. Itu favorit banget."

Wajah wanita itu terlihat terkejut. "Wah, hebat juga ya. Silmi juga kayaknya nggak ke sana, sih."

"Memang mau ke mana, tan?"

"Mungkin bakal di luar kota, pesantren."

Bola mata Zea membesar. Ia merasa tidak enak hati.

Jadi, orang-orang sudah punya tujuannya, ya...

"Tapi kayaknya dia nggak mau." Ibu Silmi menghela napas, diam-diam memperhatikan raut wajah Zea dari pantulan cermin di langit-langit kabin. Lesu sekali.

would you like to share it with me?Where stories live. Discover now