Five: Bitter Candy

Start from the beginning
                                    

Dulu, ketika hubungan mereka masih sebagai teman dekat, Orin sangat antusias membantu Berlyn melengkapi rumahnya. Keluar masuk toko perabotan untuk memilih furniture. Berlyn sangat bersemangat dengan rumah barunya kala itu. Sayangnya serah terima kunci bertepatan dengan sidang perceraiannya. Padahal rumah itu dia dengan niat memberi hadiah kejutan bagi Irma.

Berlyn yang baik, yang sedang bersedih karena terbelit masalah, membuat Orin berempati dan dengan senang hati membantunya. Dulu.

Tetapi sekarang kondisinya berbeda. Menjadi orang dekat Berlyn tidak membuatnya lebih leluasa untuk melibatkan diri seperti dulu. Terutama bila Berlyn tidak memintanya secara khusus. Ada ganjalan di hati yang belum sanggup Orin singkirkan.

"Sekarang kamu punya stock selimut dan seprei, Bee?"

"Ya, seadanya. Cuci, kering, pakai," sahut Berlyn ringan. "Kamu nggak pengen gitu nganterin aku beli?"

Akhirnya! Orin menundukkan kepala. "Aku nggak pernah beli selimut dan seprei. Aku bikin."

"Aku juga mau banget kok dibikinin, Rin."

Orin menunduk semakin dalam. "Sebenarny aku udah bikin buat kamu, Bee," sahutnya pelan.

Berlyn terdiam sejenak. "Untung jalanan ramai. Kalau nggak, aku udah berhenti dan cium kamu karena gemes, Rin," katanya.

***

Hari sudah senja. Bahkan sinar matahari hampir hilang sepenuhnya dari cakrawala. Orin memperhatikan Berlyn yang sedang berbaring di sebelahnya. Mereka berada di halaman belakang rumah Berlyn. Satu bidang sempit yang dibiarkan terbuka dengan rumput yang teratur rapi. Tempat pria itu sering menghabiskan waktu bersantai, tidur di atas karpet sambil menatap langit.

Berlyn bukan orang yang akan betah berada di rumah. Di lapangan, pria itu seorang penikmat alam. Mendaki gunung, berperahu, memancing hingga menombak ikan di danau, atau berburu binatang liar, adalah rutinitas liburannya selama di proyek. Itu yang Orin tahu.

Melihatnya membaringkan diri di atas karpet seperti ini membuat Orin leluasa memperhatikan sosoknya. Tak terbayang bagaimana jadinya kalau pria seenergik ini terikat di satu tempat. Dengan seseorang sepertinya.

"Bee..."

"Hm ..."

"Jangan tidur dong."

"Aku nggak tidur."

"Tapi matamu merem, Bee."

"Iya, merem. Tapi aku nggak tidur, Rin."

"Kalau tahu-tahu ketiduran gimana? Nggak baik tidur jam segini."

Berlyn akhirnya membuka mata dan menegakkan tubuhnya, sehingga duduk bersebelahan dengan gadis yang sedang memeluk lutut di sebelahnya. "Kenapa sih?"

"Aku di sini, tapi kalau kamunya tidur kan mending aku pulang, Bee."

Berlyn menatap Orin dalam-dalam. Pria itu menyadari kalau banyak hal yang berubah pada diri gadis ini. Tetapi dia belum bisa menyimpulkan apa. Dengan tenang diraihnya bahu Orin dalam rengkuhannya. "Iya, aku nggak tidur kok. Bosen?"

Orin menggeleng. "Kalau kamu memang mau sendirian, aku pulang aja."

"Terus, kamu sama siapa dong di tempatmu?"

"Sendiri. Aku udah biasa sendirian kok. Kamu pikir, kenapa aku suka menjahit? Karena dengan menjahit aku nggak harus ngobrol sama orang. Juga nggak akan ngerepotin orang lain yang nggak mau ngobrol sama aku."

Berlyn terdiam. Hari ini sudah dua kali Orin menyebut sesuatu yang membuat sensor kepekaannya terusik. Orin hanya mau dipanggil nama. Dan sekarang?

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now