Dilemma

93 43 23
                                    

Bodoh. Itulah satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan pilihanku. Entah mengapa aku malah mengangkat buku harian itu. Nova melihatku dengan ekspresi yang tampak malas, sedangkan aku hanya terbelalak. Untuk suatu alasan aneh, refleksku mengarah ke buku harian tersebut. Entah apa otakku ini tidak mau diajak berkompromi.

“Baiklah, Ellia. Karena kau sudah memutuskan-”

“Tidak, tunggu. Mr. Edward, aku salah-”

“karena kau sudah mutlak memilih buku itu. Berikan alasannya.” Aku terdiam, setelah menghela napas. Kupandangi sampulnya yang bergaris tersebut, dengan kedua alis yang berkerut. Aku menggigit bawah bibirku. Apa yang membuatmu spesial, sebenarnya?

Aku membuka buku tersebut, disambut dengan halaman pertama dengan sebuah kotak untuk mengisi nama. Halaman lainnya, hanyalah halaman kosong dengan noda-noda kekuningan di ujungnya karena waktu. Secara sekilas, buku harian ini tidak berbeda dari buku harian lainnya.

“Ini bukan waktu yang tepat untuk melamun, Ellia,” Mr. Edward menjadi serius. Sisi gurunya mulai muncul. “kau sudah kuberikan waktu. Apa susahnya memberi alasan?”

“Interupsi! Waktu yang kau berikan sangatlah sedikit, apa kau pikir semudah itu bagiku? Aku bukan penyihir hebat seperti ada yang di cerita itu!” Aku langsung terdiam. Mr. Edward mengangkat salah satu alisnya, sedangkan Nova terbang ke sisi wajahku, ia seperti tahu apa yang kupikirkan. “Mr. Edward, apa kau ada alat tulis atau-” Nova langsung menyiulkan sebuah sinyal, entah kepada siapa.

Kurang dari satu detik, sebuah pena berbulu dan botol tinta hitam terbang di hadapanku. Aku langsung melihat Mr. Edward, ia hanya mengangkat kedua bahunya, dengan wajah yang menantang, seolah ia tahu dan mengantisipasi apa yang akan kulakukan.

The game is on.

Aku langsung mengambil pena berbulu tersebut, sedangkan si botol tinta melayang di dekatku. Ini bukanlah rodeo pertamaku menggunakan alat tulis kuno ini, bisa dibilang aku lumayan berpengalaman. Ternyata berada di dalam klub tulis-menulis yang hanya beranggotakan empat orang berguna juga.

“Oke, aku siap,” Gumamku, lebih terhadap diriku sendiri. Aku pun mencelupkan pena tersebut ke dalam botol tinta. Setelah mencelupkannya, aku menuliskan satu hal di kotak halaman pertama tersebut.

Ellia.

Aku tersenyum.
“Aku memilih buku ini karena-” Tunggu, mengapa aku terdengar seperti siswa SMP yang mempresentasikan tugas resensi? Aku terhenti sebentar, berusaha memikirkan kata-kata yang akan keluar selanjutnya.

“Kenapa berhenti? Lanjutkan,” Ujar Mr. Edward tidak santai. Seram juga dia kalau serius.

“Aku memilik buku harian ini karena aku bisa menuliskan apapun yang kumau.”

“Buku harian yang kosong melompong itu? Setelah kau hampir mati dikejar oleh para badabooks. Bukankah itu sama sekali tidak masuk akal? Kau hanya seperti membuang-buang waktumu. Kenapa kau tidak langsung mencari buku kosong dan memberikannya padaku?” Aku mulai yakin Mr. Edward memiliki kemampuan teater, karena sifatnya yang semula santai menjadi tegas seperti ini.

Ucapannya benar, setiap kata-katanya menusukku, seolah merobohkan pendirianku perlahan-lahan. Aku harus yakinkan diriku sendiri akan pilihanku.

“Betul, Mr. Edward. Aku yang menghadapi buku-buku iblis itu sendiri, dan aku yakin buku ini tidak sama dengan buku-buku kosong lainnya, setidaknya bagiku. Ini pilihanku, dan kau tidak bisa seenaknya menghakimi.” Mr. Edward mengangguk pelan, memejamkan kedua matanya.

“Lanjutkan ke bagian alasan,”

“Alasanku memilih buku ini adalah, karena masih kosong dan belum ditulis apapun. Hanya namaku. Kau bilang buku yang isinya ada kisah-kisah tentang penyihir hebat, pengelana waktu, dan juga seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi seorang raja. Kisah-kisah orang hebat bukan?”

Magix : The New Generation [Postponed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang