Librios

140 55 93
                                    

“Astaga-” Aku terlonjak, memundurkan langkahku dari si pria. Ia mengenakan jubah hitam di luar setelan jasnya. Wajahnya terlihat tegas, rambut dan janggutnya yang pendek tertata rapi. Ia terlihat seperti seorang model. Kenapa orang-orang yang kutemui di sini atraktif?

“Sepertinya kau tersesat,” ucapnya. Oh, jika saja dia tahu bahwa tersesat adalah jalan hidupku semenjak ada di sini. Aku, hanya menampilkan senyum canggung. “bagaimana kau bisa masuk ke sini?” Tanyanya. Aku juga mempertanyakan hal yang sama.

Ketika memikirkan soal kejadian sebelumnya, kurasa di hipnotis adalah alasan paling logis ... kurasa.

“Kalau aku katakan aku ke sini karena seseorang menghipnotisku, apa kau kau akan percaya?”

“Hipnotis?” Ia mengulangi ucapanku, lalu tertawa kecil. Terlepas dari apa reaksinya, tampaknya ia lebih paham tentang tempat ini.

“Bisakah kau mengeluarkanku dari sini, Tuan?” Tanyaku. Ia hanya menaikkan alisnya.

“Memangnya kenapa?” Kedua alisku terangkat mendengarnya. “Apa ada yang menunggumu?”

“Teman-temanku akan mengkhawatirkan tentangku,” Aku berkata. Jujur saja, aku tidak yakin apakah mereka sudah bisa dihitung sebagai temanku. Aku bergantung pada mereka, tapi apakah mereka menganggapku teman? Aku belum yakin. Si pria ini hanya mengangguk singkat.

“Baik kalau begitu.” Ia berbalik badan, lalu tangannya mensinyalkan agar aku ikut dengannya. Aku mengikutinya menyusuri lorong.

Langkahnya yang cepat ditambah perawakannya yang tinggi membuatku sedikit khawatir akan tertinggal. Pandanganku hanya tertuju pada pria yang menuntunku ini. Jubahnya yang berwarna hitam memiliki corak yang tidak terlalu jelas di belakangnya.

Aku menatapnya terus-menerus, lalu menyadari bahwa simbol yang terletak bertumpuk itu mengartikan sesuatu. Yang pertama ialah simbol bergambar garis-garis dengan bundaran di ujungnya, menggambarkan angin. Yang di bawahnya adalah simbol bulat, namun bagian atasnya memiliki sisi-sisi tajam, seperti api. Yang ketiga adalah simbol yang mirip seperi kartu milik Alfred, berarti air. Sedangkan yang terakhir hanyalah dua garis biasa, yang atas lebih pendek dibanding yang bawah, dan melihat dari simbol-simbol di atasnya yang bertema elemen, mudah ditebak bahwa yang satu ini adalah tanah.

“Sepertinya kau penasaran dengan jubahku ini, Ellia?” Ia melirik ke arahku, menengokkan kepalanya sedikit.

“Bagaimana kau tahu nam-”

“Ah, tidak usah dibahas,” Ia langsung menyela. “nanti kau pun akan tahu.” Kami lanjut berjalan menyusuri lorong yang nampaknya tidak berujung.

“Umm, maaf kalau aku lancang. . .bisa aku tahu namamu?”

“Mr. Edward, kau bisa memanggilku itu.” Kami berhenti di depan sebuah tembok berukir lambang Esolmose. Mr. Edward memejamkan matanya.

“Tembok ini adalah pintu keluar, ‘kan? Setelah kau mendemonstrasikan magix, baru akan terbuka, “kan?” Tepat setelah aku berkata begitu, Mr. Edward tertawa terbahak-bahak. Aku hanya menatapnya dengan canggung.

“Ellia, Ellia! Kau terlalu banyak menonton film tentang sekolah sihir.” Bagaimana dia tahu soal ini? Nampaknya, ia mengetahui tentang diriku lebih dari yang kukira. Lalu, ia lanjut berjalan.

“K-kenapa kita lanjut berjalan?”

“Ha ha! Aku hanya ingin lihat reaksimu.” Ia terkekeh ala seorang bapak-bapak seumurannya.

Berkali-kali ia mengerjaiku dengan berdiri di depan tembok atau objek-objek, lalu berdiam, dan lalu lanjut berjalan sambil menertawaiku. Ternyata orang-orang tua di tempat ini memiliki selerah humor yang rendah.

Magix : The New Generation [Postponed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang