Oma Hilda tersenyum tipis. "Oma tidak akan menanyakan lebih. Tapi, Oma pengen tau. Kenapa kalian memilih berpisah?" ujar Oma Hilda bersuara, menghentikan gerakan mata Arland yang hampir hendak tertutup.

Arland menggenggam tangan Omanya. "Siapa pun gak pengen punya pasangan cacat, Oma. Termasuk, Alle," kalimat itu sontak saja mengejutkan bagi Oma Hilda.

"Maksud kamu, Alle meninggalkan mu karna kamu cacat sementara?"

Arland mengangguk kemudian berpindah tempat, dengan berbaring dengan bantalan paha sang Oma.

"Sayang, tangan mu di gips cuma sementara. Seterusnya bakalan sembuh. Alle tidak mungkin seperti itu, Oma yakin ada masalah lain," cecar Oma Hilda terkesan membela Allea, namun bukan itu maksud sebenarnya dari Oma.

"Kalau selamanya juga gak papa, Oma. Arland gak peduli," kata Arland acuh. Bahkan jika Tuhan berhendak, ia tidak masalah jika nyawanya diambil sekarang.

Oma Hilda lantas beranjak pelan. "Kalau begitu biar Oma yang bicara sama Alle, pasti dia mau dengerin Oma," ujar Oma Hilda serius.

"Oma, Arland gak mau bahas ini. Kita udah selesai, Oma," kata Arland cepat, karna takut Omanya akan benar-benar menemui Allea.

Oma Hilda menatap Arland dalam. "Tidak ada yang selesai selagi Oma bisa mencegahnya,"

Arland menggeleng. "Arland cuma butuh, Oma. Gak ada yang lain, temenin Arland Oma," pinta Arland menarik Omanya sehingga kembali berbaring dan meletakan kepalanya di atas paha sang Oma.

Oma Hilda pun menurut, merasakan bahwa saat ini sang cucu butuh ketenangan saat ini. "Tidur, Oma akan tetap di sini," 

Arland pun mulai memejamkan matanya. Berharap ia bisa tertidur dan tenang beberapa menit saja. Namun, tak berapa lama ia kembali membuka matanya.

Kenangan mereka berputar, tawa bahagia mendominasi pikiran Arland, dan semua kenangannya berputar.

Oma Hilda sedikit terkejut saat merasakan pahanya yang sedikit basah. Wanita baya itu hanya tersenyum tipis dan melanjutkan usapannya.

Arland menangis.

•••


"Sayang, kamu mau yang mana?" suara Alex kembali terdengar setelah hening beberapa detik lalu.

Allea pun menoleh malas, terlebih melihat Alex yang kini memamerkan dua sebuah gaun putih mewah.

Allea tersenyum tipis, amat tipis. "Terserah lo aja,"  kata Allea jengah.

Sejak pulang sekolah, mereka sudah berkeliling mall. Dan tentunya hari sudah larut malam, namun Alex belum ingin beranjak. Katanya ini yang terakhir setelah mencari cincin pertunangan tadi.

"Gak bisa gitu dong. Ayo pilih," kata Alex menarik lengan Allea dan berhadapan pada jejeran gaun-gaun indah dan berkelas, juga mahal tentunya.

Jujur saja gaun-gaun di sini sangatlah memikat, jika ini adalah pertunangannya dengan Arland, Allea akan sangat senang jika di suruh memilih.

Namun, ia sadar. Bahwa yang bersamanya nanti bukanlah Arland. Melainkan Alex.

"Yang ini aja," pilihan Allea jatuh pada gaun putih mekar dan mewah. Karna di sini, semua gaun bermerek.

"Really? Ini terlalu biasa All, masih banyak gaun yang lebih indah," ujar Alex menatap biasa gaun itu. Namun, ia tak masalah karna apapun yang gadisnya pakai akan terlihat sangat cantik.

Allea hanya mengangguk singkat. Ia memang tidak mau ambil pusing, yang mana pun gaunnya ia tak masalah. Toh, cuma di pake sehari.

"Oke, sekarang kamu coba dulu,"

My BadBoy In Sweet ✔️[SEGERA TERBIT]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें