𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 11 : 𝐌𝐨𝐨𝐢

Start from the beginning
                                    

 "Besok lagi, kalau ada yang minta nomor kamu apa sesuatu yang sifatnya pribadi jangan dikasih, La. Ya?"

***

Jalan Kyai Maksum KM 11, Kamis 1 November 2016

"A-Abang, ja-jangan nangis, ya. I-Ila nggak apa-apa, kok. Cuma Ila capek aja, Ila udah nggak cantik lagi soalnya, kata temen Ila, Ila--" 

Raiden masih memeluk tubuh kecil adiknya. Luapan emosi yang dari beberapa hari lalu berangsur gugur, apalagi setelah sesak napas adiknya kambuh. "La??"

"Temen Ila ... bilang Ila dah bukan cewek b-baik lagi, Bang. I-Ila--"

"Udah, La, udah. Abang udah nggak marah lagi." Tangis pria itu perlahan pecah, bersamaan dengan itu, pelukan mereka merenggang. Napas gadis yang kedua matanya sudah berlumuran cairan bening itu perlahan membaik.

"Tapi Ila udah nggak cantik lagi, Bang." Setetes air mata kembali keluar dari dua insan itu. Raiden mengelus lembut kedua pipi milik adiknya. 

"Badan Ila udah kotor. I-Ila malu ...." 

Sesak di dalam sana perlahan terasa sangat menyiksa, laki-laki itu menunduk. Menunduk, antara menyesal karena tutur katanya beberapa bulan lalu dan marah pada semesta yang begitu jahat hingga membuat sang adik  begitu menderita hanya dalam hitungan bulan. 

***

Rumah Zenita, Rabu 5 Desember 2018

"Dek, jangan deket-deket sama Raksa, ah. Kakak nggak suka."

"Aku nggak deket sama dia. Kita cuma, kebetulan sering ketemu aja. Nggak lebih." Sudah lebih dari satu bulan, sejak kejadian Zenita diselamatkan dari peristiwa perisakkan di dekat ruang seni musik, ia entah atas dasar apa semesta kerap kali mempertemukannya dengan Raksa. Seorang siswa yang kerap kali disebut-sebut akan menjadi calon ketua OSIS di periode selanjutnya. Selain karena sikapnya yang terkenal gampang membaur, laki-laki itu juga tak hanya sekali pernah dipanggil untuk menerima piala atas kejuaraan takraw yang ia ikuti.

Sangat berbeda dengan image gadis bernama Zenita. Hanya satu mungkin yang membuatnya lumayan dikenal, yaitu statusnya sebagai adik dari seorang seperti Fariz. Satu-satunya anak OSIS periode 2016-an yang pernah memenangkan mendali emas di kejuaraan nasional. Disusul dengan mendali lain yang ia peroleh di tahun berikut-berikutnya. Bahkan, ketika Fariz menginjak semester 5, ialah satu-satunya siswa yang mendapat undangan bersekolah di Akademi Kepolisian.

"Kakak dikit lagi lulus, kamu jangan macem-macem ah temenannya. Sakit di tulang kering itu beneran karena jatuh? Bukan karena kamu salah temenan sama dia?"

Zenita tersenyum tipis lalu menggeleng semeyakinkan yang ia bisa. "Bukan, dia yang nyelametin aku malah."

Memang benar Raksa lah yang menolongnya, tetapi penyebabnya bukan karena ia terjatuh, melainkan karena seseorang mendorongnya sewaktu ia mencuci tangan di keran dekat lapangan basket. Nama gadis yang melakukannya kalau tidak salah Fai. Teman sekelasnya yang juga tak kalah membencinya.

Zenita sebenarnya bukan seseorang yang dirisak dari awal masuk sekolah, bahkan kalau diingat-ingat. Kejadian seperti ini baru dua bulanan terjadi dan gadis sekaligus adik dari Faris itu, sedikit banyak tahu alasannya.

Awal masuk sekolah, bagi sebagian siswa menjadi ajak mencari banyak teman dan tentunya Zenita adalah salah satu dari siswa itu. Akan tetapi, di awal pembelajaran, gadis itu banyak disukai oleh para laki-laki di kelasnya. Bahkan, mereka kadang terang-terangan mengakui hal yang semacam itu.

Disusul oleh fakta dia yang merupakan adik dari Fariz yang malah membuat gadis itu juga dikenal banyak guru di angkatannya, alhasil ketika di kelas, Zenita seperti diistimewakan sebab perlakuan guru sangat ramah terhadapnya. Kakak kelas laki-laki juga banyak yang mengunjungi X Mipa 1 karena mereka yang penasaran seperti apa gadis ajaran baru yang menjadi primadona di angkatan baru. Sebulan setelah itu, pernyataan cinta satu demi satu Zenita terima, tetapi jelas gadis itu tolak.

Awalnya gadis itu tak ambil pusing tentang begitu banyak lelaki yang suka padanya, tetapi lambat laun fakta itu berubah menjadi sedikit terganggu. Apalagi setelah rumor-rumor aneh tak berdasar tentang Zenita mulai mencuat. Tentang Zenita si penjilat guru, Zenita si penyuka sesama jenis, atau Zenita si siswa genit, dan rumor lainnya yang bahkan gadis itu tak habis pikir kenapa bisa mendapat rumor yang demikian.

Tepat seminggu setelah itu, mulailah perisakan via verbal dan fisik terjadi. Kadang terjadi ketika istirahat, jam kosong, atau pulang sekolah. Sayangnya, kegiatan yang begitu banyak dan juga kesibukan mengurus kelanjutan sekolah  membuat Faris yang merupakan sang kakak, jadi jarang memperhatikan dan tak paham banyak mengenai pergaulan adiknya.

Zenita pun pernah berencana mengatakan yang sejujurnya, tetapi saat itu ia belum punya keberanian. Pikiran-pikiran seperti 'bagaimana kalau kakaknya malah kerepotan dengan permasalahannya?' tak hanya satu-dua kali berdatangan ke kepalanya. Selain itu, Zenita berpikir, mungkin saja perisakannya akan berhenti sebentar lagi, jadi yang perlu gadis itu perlukan hanya sabar dan menunggu sampai semuanya kembali normal. Padahal, sebuah takdir bisa berubah lebih cepat jika kita berusaha, bukan hanya menunggu.

Namun, siapa sangka seseorang ternyata berhasil membuatnya lebih baik, dan orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah Raksa.

Raksa : dah bobo, Ze?

Zenita langsung terbatuk melihat notifikasi aplikasi hijau tempat Raksa mengirim pesan. Tumben, biasanya yang laki-laki itu jadikan bahan untuk memulai percakapan adalah pertanyaan yang berkaitan dengan PR. Kenapa malah jadi bertanya seperti ini sekarang? Sumpah, demi apapun ada rasa mual hinggap di perut gadis yang tengah duduk di meja makan bersama kakaknya itu.

"Kenapa keselek begitu? Ati-ati, dong makannya. Taruh dulu HP-nya, biar Kakak yang cuci piring kamu. Ayo, abisin dulu kakak tunggu."

Zenita mengusap ujung bibirnya yang basah oleh makanan. "Jangan. Zenita aja yang cuci piring."

Fariz mencoba mendekat ke kursi makan adiknya. Lebih tepatnya mengintip isi gawai adiknya.

"Kak, jangan rese. Sanaaa."

"Apaan, deh, kamu? Kenapa senyum-senyum begitu? Lagi chat-an sama pacar, ya? Aku bilangin bunda sama ayah, nih kalau nggak ngasih tahu kakak."

***

to be continued.

Silent In The Rain Where stories live. Discover now