𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 3 : 𝐯𝐨𝐥𝐝𝐨𝐞𝐧 𝐚𝐚𝐧

88 22 159
                                    

(temu)It's about meeting because of the universe, but separating because of their own will

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

(temu)
It's about meeting because of the universe, but separating because of their own will

***

"Udah beli obatnya?"

"Iya, udah."

Raksa yang baru saja akan menancap gasnya, malah ia urungkan dan menengok ke jok belakang. "Beli obat apa, sih, Ze?"

Tangan perempuan yang baru saja naik ke motor hitam itu ia alihkan ke pundak pengemudinya. "Cuma ... obat pusing, kok. Yuk, jalan, Sa."

"Iya, iya. Pegangan."

Zenita tidak tahu, apakah wajar kalau persoalan beli salep untuk menghilangkan jejak yang Raksa buat di lehernya saja ia harus berbohong? Perempuan itu juga menutup-nutupinya seperti ini. Tak hanya sekali dan ini memang bukan yang pertama kalinya Zenita berbohong, tapi mau jujur pun rasanya dia tidak bisa.

Perempuan itu hanya melihat ke sisi jalan yang mereka lewati dengan perasaan kosong. Detik berikutnya tangannya menaikan posisi hoodie agar lehernya tak terlihat.

Ada rasa malu di dalam sana dan juga Raksa tak pernah bertanya apa yang terjadi pada lehernya hingga perempuan itu menutupinya. Jadi, tak apalah kalau dia berbohong juga. Iya, kan?

***

"Matkul Bu Aini lo ngulang, Rai?"

"Iya." Raiden dengan malas membalas. Matanya jujur sudah tak mau diajak kompromi. Gara-gara kemarin malam ia singgah ke tempat kerja Aydan, di sana ia malah disuruh live music dadakan. Untung dia pulang dengan bayaran, kalau tidak mungkin laki-laki itu akan mengumpat sepanjang perjalanan pulang.

"Lo nggak mahir, sih dalam perabsenan. Tu Bu Aini kan ketat banget kek leging kalo persoalan presensi nah lo jangan bolos. Harusnya yang kemarin itu kelas yang lo bolosin. Pak Saiful juga kan santuy, dia juga paham sama lo, Bray."

"Manéh mah émang sesat, Dan. Bisa-bisana manéh nyarankeun anu kitu. Bang Iden, jigana mah urang kudu indit."

("Kamu memang sesat, Dan. Bisa-bisanya kamu menyarankan hal yang seperti itu. Bang Iden, sepertinya kita harus pergi.")

"Alaaah, Sunda berisik. Lo aja yang diem. Gue ni ngomong kenyataaan. Petuah, nih, asal lo tahu." Aydan menjelaskan dengan ngotot, dibalas Ibnu dengan tatapan aneh serta alis yang menukik tajam, persis seperti grafik IPK Aydan di semester kemarin.

Silent In The Rain Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora