𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 2 : 𝐕𝐫𝐞𝐞𝐦𝐝

108 21 139
                                    

(ganjil)When something changes, definitely not without reason like he or she who doesn't stay for example

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(ganjil)
When something changes, definitely not without reason like he or she who doesn't stay for example.

***

"Mau dianter nanti, Ze?"

"Boleh kalo nggak ngerepotin."

Si lawan bicara tersenyum, sangat lebar hingga lesung di pipi kanannya tercetak jelas. Ya, meskipun tak sejelas luka yang berangsur membiru di beberapa jengkal leher milik Zenita, tetapi berhasil membuat gadis yang memakai hoodie itu tertular senyumannya.

"Nggak ngerepotin lah. Lo kan pacar gue. Eh, udah sarapan? Kemarin katanya mual, kok berangkat?"

Zenita meletakkan minuman mineral yang beberapa menit lalu ia beli di depan *KWU, dekat ATM BRI paling kanan. "Mual karena kemarinnya belum makan seharian, tapi aku ketiduran. Terus bangun-bangun malah minum yogurt, jadi ya gitu."

Raksa melepas tas yang membebani pundaknya. Ia menggeser pantat dan meletakkan laptop yang sempat ia jinjing dari ruang kelas. Tangannya bergerak, meraih tangan yang lebih mungil dengan sedikit hati-hati. "Jangan lupa makan, dong, Ze. Sayang badan dong. Nanti Bunda lo ngira gue nggak jagain lo lagi."

Zenita tersenyum tipis. "Iya. Kamu ada kelas lagi, Sa?"

"Enggak, sih. Kenapa? Pengen jalan-jalan?"

Bangku-bangku kecil di sisi kanan jalan paling pojok dari gedung KWU menjadi tempat lumayan sering mereka gunakan untuk bertemu. Selain karena sepi, Raksa menyetujui hal tersebut, kalau ada yang tanya kenapa memilih yang sepi, Zenita hanya tak mau dilihat banyak orang sebab dia duduk bersama salah satu anak hima yang tak lain adalah Raksa. "Kok diem? Kenapa, Ze?"

Zenita berhenti memainkan sepatunya. Kini matanya beralih ke sosok yang duduk di sebelah kiri. Masih dengan rambut yang sama, mata yang indah luar biasa, dan tangan hangat yang tak pernah Zenita bisa tuturkan seberapa sering ia mengusap belakang rambutnya. "Malah senyum-senyum. Ganteng banget, ya, pacarnya?"

"Iya."

Raksa terkekeh dengan suara renyah. "Dih, berani bilang iya sekarang. Dulu mah malu." Tak menjawab, Zenita memilih diam di posisinya. Kini matanya memilih melihat sisi jalan yang penuh lumut dan dijatuhi beberapa daun kering. Maklum, fakultas FMIPA memang banyak sekali pohon-pohon tinggi, khususnya di daerah *GH sampai area jurusan Biologi. Sangat hijau dan penuh dengan tanaman hias beraneka ragam.

"Kenapa lagi kok diem?" Zenita hanya menggeleng, berusaha mereduksi kekhawatiran yang Raksa rasakan. Jujur ia memang tidak baik-baik saja. Apalagi mengingat kejadian hari Jumat kemarin. Rasanya ia ingin pindah kampus sebab malu, tapi apakah kecemasannya bisa ia utarakan pada sosok yang tengah mengamatinya lamat-lamat? Tentu saja tidak, Zenita tak seberani itu. Ia takut kalau sosok yang duduk di sampingnya ini pergi.

Silent In The Rain Where stories live. Discover now