𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 7 : 𝐊𝐥𝐞𝐢𝐧𝐞 𝐫𝐮𝐢𝐦𝐭𝐞

35 5 13
                                    

(ruang kecil)" There is a small space in each creature that contains painful memories of the past"

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

(ruang kecil)
" There is a small space in each creature that contains painful memories of the past"

***

"Ini kita mending langsung bagi. Nggak usah kelamaan." Ya, project mereka sudah ditentukan. Melakukan kegiatan mengajar di daerah dekat Simpang 7 yang terkenal akan banyak anak-anak yang memilih bekerja entah sebagai pengemis, pengamen, atau manusia silver. Tak butuh satu jam mereka memutuskan itu, tetapi tahap selanjutnya sungguh memakan waktu, di tambah lagi Raiden belum sarapan. Sialan, masa sakit perutnya harus kambuh lagi?

Zenita membenarkan posisi duduknya. Agak menjauh sedikit karena merasa sangat tidak nyaman. Selain gerah, ada rasa canggung kalau duduk hanya berdua begini. Ya, meskipun di ruangan itu ada lebih dari tujuh orang.

"Saran, gimana kalau bagi nanti malem lewat grup? Saya bingung mulai bagi-baginya dari mana. Takut nggak adil."

Helaan napas tak sabar keluar. Raiden langsung menenteng tasnya ke bahu cepat. Sungguh, perutnya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda melilit dan itu bahaya. "Ya, udah. Gue cabut."

"Ok."

Belum juga Raiden melangkahkan kaki hingga genap sepuluh langkah. Sebuah suara menginterupsinya kembali. Sesungguhnya ia tidak peduli, tetapi sesuatu mencegahnya untuk melakukan demikian.

"E-eh, sebentar, saya mau nanya." Suara yang pelan itu perlahan masuk indera pendengaran milik sosok laki-laki yang sudah melambatkan jalannya. Ya, mereka sudah di koridor luar kelas dan berjalan beriringan.

"Apa?"

Jujur, sebenarnya Raiden cukup penasaran mengapa gadis ini tidak panik melihatnya dari kemarin? Padahal, waktu di ruang PMI ketika pingsan mimik mukanya saja sudah kaget. Atau jangan-jangan dia sudah ingat lalu ingin bertanya Raiden lupa atau tidak? Oh, ayolah hanya manusia ber-IQ dua puluhan yang bisa melupakan kejadian secepat itu.

Oh, atau mungkin juga tidak .... Ah, sialan! Kenapa jadi Raiden berspekulasi macam-macam begini? Sejak kapan ia peduli dengan orang-orang di sekitarnya? Lagian, kenapa juga ia harus memikirkan sesuatu yang sama sekali tidak penting seperti ini?

"Saya izin, minta WA kamu."

Sial, sepertinya perempuan itu masih belum ingat. Ah, atau pura-pura lupa, tapi siapa peduli? Raiden akan melupakannya secepat itu juga.

"Tangan lo."

"Hah?" Bersamaan dengan pasangan kelompoknya itu bertanya, Raiden mengambil tangan kirinya dan menuliskan sesuatu ke telapak tangan milik perempuan itu dengan bolpoin yang ada di sisi saku tasnya.

"Loh, kok malah nulis di sini? Pakai kertas saja, M-Mas."

Raiden menetap sosok yang memanggilnya dengan sebutan aneh dan baru pertama kali ia dengar. Apa dia bilang? Mas? Kapan cewek ini menjadi adiknya?

Pandangan Raiden kembali turun. "Kelamaan. Keburu mau pergi. Oke, udah? Gue cabut dan satu lagi."

Zenita hanya melihat ke Raiden yang tengah berbicara. "Nama gue Raiden. Panggil gue itu, jangan "Mas" nggak qualifield lo jadi adik gue."

Dan seperti biasanya, tanpa menunggu jawaban dari sang lawan bicara, Raiden pergi begitu saja. Sedangkan Zenita hanya diam mencoba memahami kenapa ada orang seperti itu dan juga kenapa dia merasa tak asing?

"BTW, salep apotek nggak mempan ngilangin yang ada di leher lo? Apa lo dipake lagi?"

Detik itu juga, Zenita membelalakan mata tak percaya. Sebentar, benarkah dia ... orang yang membawanya ke PMI? Hah ada lagi! Ingatan perempuan itu sekarang sudah seperti air yang luber ke mana-mana, orang itu adalah yang mencibirnya di perpustakan bukan? Dan juga orang yang ia tabrak di apotek? Ck. Kenapa juga dunia sesempit ini, sih? Kenapa juga harus jadi satu kelompok dalam project seperi ini!

***

"Dahlah, gue nyerah sabar sama lo, Nu. Lo mending minggat sekarang kalo belum mau mati muda!" Aydan sudah berteriak lelah sampai otot lehernya terlihat menonjol seperti jerawat di jidat Sesa.

"Apa salah saya? Saya cuma bilang kebenaran!"

"Yee, dah gue kasih tahu gue juga cuma usaha, lo nyolot mulu!"

"Tindakan kamu mau menikung pacar orang itu kriminal, Dan! Bayangkan nanti kamu punya istri, lalu ada laki-laki mengambilnya, bagaimana nasib keluarga kamu?"

"Tinggal nyari lagi. Buat keluarga baru."

"Astagfirullah, tidak disangka bukan hanya moral kalo yang merosot sampai kaki, tapi otak kamu juga!"

"Anjg, lo kan nanya gue jawab, malah ngatain. Lo lama-lama gue gadai di pegadaian, ya, Nu. Gue bercandaaa, elah!"

"Sudahlah. Saya pamit saja, lelah saya menghadapi kamu, bisa-bisa rusak otak saya berlama-lama dengan kamu. Bang Iden, saya pamit."

"MBOK YO KET MAU, NDES!" Aydan lagi-lagi berteriak seperti di hutan, padahal posisi mereka sedang bersantai di gazebo biasanya. Andai makhluk ini bisa dilenyapkan, Raiden berencana melakukan itu. Dia hanya khawatir lapisan ozon akan bolong kalau atmosfer bumi terus-terus dijajah oleh karbon diokasida milik Aydan yang makin hari seperti black hole di film-film alias semakin membesar.

"Lo meding diem, deh, Dan. Makanan gue kebanjiran ludah lo."

"Ehh, maap-maap, Bray."

Aydan membenarkan posisi duduknya, kemudian bersimpu tangan kepada Raiden yang sedang menikmati nasi padang yang baru saja ia order.

"Eh, Dan?"

"Hm?"

"Minggu ini cafe ada jadwal yang dibuat libur sama Mbak Mike, nggak? Kalau ada gue join malem minggu. Lagi butuh."

"Ya, kayaknya iya. Nanti gue hubungin Mbak Mikenya. Lagian, lo butuh buat apa dah, Rai? Biasanya juga nyisa mulu uang saku lo."

"Ada sesuatu yang pengen gue beli, tapi duit gue nggak cukup. Nanti Contact gue kalo Mbak Mike dah lo tanyain."

Ya, memang begitu adanya. Uang saku yang tidak seberapa milik laki-laki yang sering menenteng gitar ke mana-mana itu memang cukup banyak, tetapi sesuatu yang ingin ia beli cukup mahal hingga ia harus mencari uang tambahan. Mumpung tanggal di mana Raiden harus membelinya masih lumayan lama, sambil menunggu hari itu ada baiknya dia mempersiapakan uang dari sekarang bukan?

Ting!

Ibu : Bang, nanti pulang kosan cepet, ya. Ibu mau mampir sebentar.

To ibu : Ok, nanti kalo dah deket daerah kos, Raiden di telepon aja, ya, Bu. Ada latihan main musik soalnya.

Ibu : Sip, hati-hati, ya, Abang. Jangan telat makan. Ibu nggak mau kamu sakit

***
To be continued


Silent In The Rain Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt