"Kau terlalu peduli dengan kasus-kasus yang kau liput ya. Kalau sudah di luar pekerjaan, lupakan saja. Kau sampai menjadikan Nathan di urutan terakhir dari hal-hal yang kau pikirkan. Kasian Nathan," kata Jennie yang kemudian tertawa.

Mereka sampai di sebuah bar mewah. Keduanya duduk sambil dan memesan segelas martini dan cocktail.

"Aku ingin sekali ke rumahnya dan membantunya berbaikan dengan kedua orang tuanya," kata Emily. "Lebih dari dua tahun dia tidak pulang."

"Sepertinya, memang tak semudah yang kau pikirkan, Mil," jawab Jennie yang meminum cocktail-nya. "Nathan memang lebih dekat dengan kakeknya daripada kedua orang tuanya. Memamerkan karya-karya sang kakek di museum walau kedua orang tuanya melarang menurutku hal yang sangat keren."

"Keren? Awalnya aku juga berpikir begitu, tetapi ... dengan ketidakmampuannya menyelesaikan masalah itu, kata keren sudah tidak melekat lagi pada tindakannya," ujar Emily.

"Apa itu hanya karena kau ingin segera menikah?"

Emily belum sempat menyeruput martininya, ia menoleh ke Jennie, menatap sahabatnya sembari menyipitkan mata. "Untuk apa aku bertunangan dengannya selama tiga tahun? Tentu saja untuk menikah."

"Beri dia waktu, kurasa dia juga ingin menikah, kan?" tanya Jennie.

"Aku ragu."

"Lalu?"

"Maksudnya?"

"Kalau kau meragukan Nathan, kenapa masih bertahan?"

"Tiga tahunku sia-sia kalau harus usai, kan?"

"Bukankah lebih baik berhenti sekarang daripada harus menunggu ketidakpastian?" tanya Jennie yang membuat Emily terdiam.

Emily berpikir bahwa apa yang dikatakan Jennie ada benarnya juga. Ia memang meragukan Nathan dan ketidakpastian yang benar-benar membuatnya harus bersabar. Meliput berita dan fokus pada pekerjaan seperti sebuah pengalihan dari pikiran akan itu. Ia ingin menikah, memiliki anak, dan hidup bagai keluarga kecil yang bahagia. Bukan hanya sekadar hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.

⌘♛∞♛⌘

Cahaya matahari yang terik membuat Emily terbangun. Di ranjang, ia sendirian. Nathan tidak pulang semalam. Sudah menjadi kebiasaan jika mereka bertengkar, pria itu akan tidur di luar. Tidak kembali ke pelukan Emily.

Tangan mulus wanita itu meraih ponsel, membaca beberapa notifikasi yang muncul. Ada beberapa pesan yang membuatnya langsung duduk.

Iris: Ada beberapa hal yang perlu kau diliput, ketemu di kantor untuk diskusi.

Jennie: Kau tahu Sheila di mana? Dia tidak bisa dihubungi. Harus ada briefing sebelum shooting. Manajernya juga tidak tahu di mana Sheila.

Selain dari Iris dan Jennie, ada pesan juga dari Hellen, adik Sheila.

Hellen: Emily, apa kau tahu di mana kakakku? Terakhir dia terlihat, dia bilang ingin bertemu dengan reporter. Hanya kau reporter yang kakakku kenal.

Emily kebingungan. Sheila tidak ada? Hilang? Dengan segera, Emily bangkit dari ranjangnya dan bergegas tanpa mandi untuk menuju ke tempat Jennie.

⌘♛∞♛⌘

Di sebuah ruang privat di restoran, Emily mendapati Jennie yang kelihatan sangat marah. Sahabatnya itu marah kepada manajer Sheila, seorang pria yang berusia empat puluhan bernama David.

"Pak, harusnya Bapak pastikan dulu kalau Sheila benar bisa atau tidak. Kalau kemarin Bapak bilang Sheila udah nggak bisa dihubungi, kenapa masih bilang kalau semuanya akan lancar dan Sheila akan hadir?" Jennie tampak kesal.

"Sheila tidak biasanya seperti ini. Hari ini tidak ada jadwal, jadi sudah dipastikan dia akan datang. Aku tidak tahu kenapa sampai dia tidak bisa datang." David tampak pucat, sepertinya ia juga bingung.

"Kau ini manajernya! Kenapa sampai tidak tahu!" Jennie sudah sangat marah. "Emily! Kau bisa membantuku?" Jennie langsung menuju ke arah Emily.

"Hellen juga mengirim pesan kalau dia mencari Sheila," kata Emily yang membuat David ikut menoleh.

"Lihat, adiknya pun tidak tahu," kata David yang kemudian keluar ruangan.

"Kau mengacaukan acaraku, ingat itu!" teriak Jennie.

"Tenang Jennie," kata Emily.

"Duduk, aku panggilkan tim make up, kau bantu aku shooting acara ini," kata Jennie yang tak bisa dibalas oleh Emily.

Alhasil, Emily harus ikut acara Jennie sebagai tamu. Tidak banyak yang perlu dilakukan hanya makan dan memberikan komentar terhadap masakan yang terjadi. Setidaknya, ia dapat sarapan gratis.

⌘♛∞♛⌘

"Ada pencurian di perumahan tadi malam, kecelakaan di jalan tol tadi pagi, dan sepertinya akan ada bentrok mahasiswa dengan polisi sore ini," kata Iris. "Pencurian di perumahan ini sudah diliput tim satu, kecelakaan di jalan tol tadi pagi sudah masuk breaking news. Kita perlu liputan ke area unjuk rasa. Wanda, kau liputan ke sana, ya."

"Oke," jawab Wanda, perempuan dengan rambut keriting pendek itu. "Aku, Ron, dan Issac sudah siap."

"Emily, bagaimana? Liputan khusus apa yang harus kita produksi segera?"

Emily tampak masih belum fokus. Ia sedang membaca pesan-pesannya bersama Hellen.

Hellen: Aku ingin ke rumahnya, tetapi dia bilang enggak di rumah karena mau ketemu reporter. Aku ke rumahnya juga enggak ada siapa-siapa. Orang tua kami juga enggak tahu Sheila di mana.

"Mil! Ada ide?" Iris menaikkan volume suaranya.

Emily mengangkat tangannya. "Kurasa, liputan kemarin masih harus dilanjutkan. Mengenai Steven yang bunuh diri di ruko itu."

"Stasiun TV lain sudah menayangkan wawancara bersama istrinya. Enggak ada lagi yang perlu kita liput dari situ."

"Harus kulihat dulu!" kata Emily yang kemudian mencari berita tentang istri Steven yang diliput stasiun TV lain itu. Ia langsung menemukannya di situs berita.

Istri Steven memberikan pernyataan tentang alasan kenapa suaminya bunuh diri. "Alasannya bunuh diri suami saya karena dia kalah berjudi, selama berminggu-minggu dia sangat frustasi dengan hal itu. Aku tak bisa lagi menghiburnya. Dia mengakhiri hidupnya karena kalah berjudi."

Emily tampak mengerutkan dahi. "Aneh. Harusnya dia bunuh diri karena ...."

"Apa yang aneh?" tanya Iris.

"Tidak ada. Beri aku waktu untuk ide liputan khususnya, aku perlu riset dulu."

"Oke, kutunggu. Hari ini harus sudah ada ide. Wanda dan yang lain, segera ke lokasi saja," ujar Iris yang diangguki yang lain.

Emily menuju ke mejanya, mencari berita-berita terkait tentang kematian Steven. Semua berita sudah menunjukkan bahwa motif kematian Steven adalah frustasi karena kalah berjudi. Apakah istri Steven itu sengaja menutupi perselingkuhan suaminya? Atau ada hal lain? Mengenai pesan yang ditemukan si detektif juga belum bisa dimengerti.

Hellen: Orang tuaku akan melapor polisi! Apa kau bisa meliputnya? Kurasa kalau diliput Sheila akan segera ditemukan.

Emily bangkit dari kursinya. "Iris! Aku dapat liputan khusus!"

Sampai jumpa lagi!

1. Bagaimana pendapat kalian tentang bab ini?

2. Bagian mana yang paling kalian suka?

3. Bagian mana yang paling buat kalian penasaran?

⌘♛∞♛⌘

Making Crazy ScandalDonde viven las historias. Descúbrelo ahora