𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 4: 𝐝𝐮𝐧

Start from the beginning
                                    

Perempuan itu langsung mendekat ke Raksa yang masih memasang muka tak suka.

"Sa, aku minta maaf, aku nggak bermaksud diem terus. Cuma, kamunya nggak nanya juga kan, jadi ...."

"Lo nyalahin gue? Lo nggak inget gue nanya lo kenapa sedih waktu kemarin itu? Terus lo bilang apa? Nggak nanya?"

"... Soal sakit, Sa. Kan kamu nggak nanya, waktu itu aku emang baik-baik aja, kok. Sakitnya hari Rabu. Terus yang waktu kamu nanya, sebenernya aku cuma, kepikiran aja ... soal kejadian hari Jumat."

Raksa menjambak rambutnya sendiri merasa frustasi. "Kenapa lo nggak pernah dengerin gue, sih, Ze! Nggak perlu lo mikirin itu! Nggak ada yang bakal tahu! Paham, nggak, sih, lo?!"

Memang tak mengatakannya secara nada yang tinggi, tetapi bagi telinga perempuan yang sudah menunduk, sembari mengenggam tangan sosok lelaki di sampingnya erat itu terasa sangat jelas, hingga mampu menghimpit sesuatu di dalam sana.

"Gue cabut. Lo balik sendiri. Masih ada kelas,'kan? Dah."

***

"Etdah, Nu! Lo geser, dong! Pantat lo makin hari makin gede aja lo kaya pipinya Sesa. Minggir, ah!"

"Manéh téh osok pisan momoyok kuring, Dan! Kunaon masalah bujur kuring nu ageung ieu dipermasalahkeun? Barina ge, ieu kasur kuring, manéh nu nyoba-nyoba ngamonopoli. Emang salah mun kuring ngiring ngagolér di dieu, Kang Idén?"

("Kamu ini suka sekali mengejek saya, Dan! Kenapa masalah pantat saya yang besar ini dipermasalahkan? Toh, ini kasur saya dan kamu yang mencoba memonopolinya. Apakah salah kalau saya ikut tiduran di sini, Bang Iden?")

"Jangan seret gue ke arus lo berdua, deh. Sa, lakban tu mulut dua orang."

"Babi lo semua, ah, berisik. Diem kenapa sih, lo, Dan! Nu! Ini lagi mau telepon si Jojo jangan rame."

"Laki stress lo bangga-banggain. Dih." Aydan kini bangun dari kasur yang spreinya baru saja si empu cuci. Ibnu membetulkan kerut di tepi kasur bekas tiduran Aydan.

"Namanya juga Sesa." Raiden yang masih asik dengan gitarnya membalas singkat.

"Jangan mulai, deh! Diem atau gue gorok pake garpu bekal makannya Ibnu?"

Aydan langsung mengambil gagang sapu di pinggir pintu, takut niat iblis Sesa benar akan dilakukan.

"Menjauh lo! Dah bener tiduran di lantai sana! Jauh-jauh dari gue, udah bucin susah dibilangin. Malah ngamar sama si Jontor lagi. Tu leher lo masih berbekas bego!"

"Diem nggak lo anak nggak laku! Gue tusuk, nih, pake garpu si Ibnu! Sini lo!"

"Lah, ulah nyanyandak garpu kuring dalam kondisi manéh nu kadesek, atuh, Sesa! Manéh mah saruana jeung Aydan. Pikasebeleun. Ngan Bang Iden hungkul nu bager mah."

("Lah, jangan membawa garpu saya dalam kondisi kamu yang terhimpit, dong, Sesa! Kamu ini sama saja dengan Aydan. Menyebalkan. Hanya Bang Iden yang menyenangkan.")

Sesa sudah berdiri mencoba menyeret Aydan yang tengah bersembunyi di belakang Raiden. Perempuan Jogja itu kemudian menoleh ke Ibnu yang posisinya jelas bisa ia jangkau.

"Diem deh lo Tikus Sunda. Maneh, maneh, nyenyenye, lo kira lagi ngomong sama siapa, sih logat lo gitu banget."

"Tau, tuh! Dasar Sunda Berisik." Aydan ikut mem-bully Ibnu yang kini alisnya sudah sangat miring seperti prosotan TK.

Silent In The Rain Where stories live. Discover now