|32,0|

3.3K 525 40
                                    

Budidayakan vote sebelum membaca




////




💜💜💜









Alen terbangun dari tidurnya ketika seseorang menepuk lengannya pelan. Matanya berat sekali, kepalanya mulai sakit saat ia memaksakan untuk membuka matanya. Usapan lembut pada surainya ia terima saat dirinya akan berbalik melihat siapa yang membangunkannya.

"Sayang, makan malem dulu yuk? Kamu belum makan dari pulang sekolah kan?". Ternyata itu mamanya, masih membelai rambutnya teramat lembut membuat Alen semakin ingin tidur.

"Kamu juga belum ganti baju, kenapa gak ganti baju dulu sebelum tidur hm? Cape banget ya sekolahnya?"

Alen teringat, ketika dia sampai dirumahnya, dia langsung menuju kamar dan memilih tidur tanpa mengganti seragamnya.

"Ayok, bangun. Matamu bengkak itu, kita obatin dulu sini". Namun pergerakan mamanya tertahan sebab Alen menahan lengannya.

"Aku nyusul aja mah, mataku masih berat banget". Mama Alen pun tersenyum kecil menanggapi.

"Ini udah jam 9 malem nanda, tinggal kamu doang yang belum makan"

"Aku gampang kok ma, nanti aku turun sendiri buat ambil makan"

Maka sang mama hanya bisa menghela napasnya, tersenyum tipis sembari mengelus tangan Alen halus sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar Alen setelahnya.



Setelah yakin mamanya keluar dari kamarnya, Alen menarik selimutnya hingga tubuhnya tenggelam dalam selimut dengan hanya menyisakan wajahnya. Menekuk kakinya membuat tubuhnya meringkuk.

Pikirannya kembali pada saat dirinya menampar Revan disekolah sore tadi. Dirinya masih tak menyangka akan seperti ini jadinya, ada perasaan menyesal telah menampar pelatihnya itu. Tapi dirinya juga sakit, bahkan mungkin lebih sakit dari pada rasa tamparan itu.

Alen masih ingat sekali akan ekspresi Revan saat sengaja menyinggungnya, bagaimana wajah itu benar-benar menunjukkan ketidaksukaan padanya. Apa dirinya benar seperti yang Revan katakan? Padahal ia seperti ini karna ingin berteman dengan siapapun, dia memang terbuka pada semua orang. Walau memang awalnya dia ingin dekat dengan Darrel, tapi setelah bertemu Revan—justru sosok itu yang mencuri perhatiannya. Harapan pun semakin tinggi ketika mereka berdua menghabiskan waktu bersama, hingga saat Revan menciumnya— rasanya hatinya benar-benar terisi penuh kala itu.

Maka pada saat Revan menganggapnya seseorang yang 'gampangan'—bukan hanya hatinya yang retak, tapi juga harga dirinya yang dihancurkan begitu saja.

Bukan dirinya yang berlebihan, bayangkan saja—ketika kita dengan tulus menyukai dan mengagumi seseorang namun orang itu malah menganggap kita sebegitu murahannya. Apa lagi yang bisa diharapkan?

Seumur hidupnya tak pernah dirinya seperti ini, semua temannya menganggap jika dirinya memang pribadi yang humble, mudah bersosialisasi dengan siapapun.

Tak salahkan jika dirinya sakit hati?

Maka kini Alen bisa merasakan ujung matanya mulai memanas, tak menyadari pipi bahkan selimutnya ikut basah akibat air matanya yang sudah terlanjur mengalir deras.




●●●





"Mungkin nantinya tatanan meja sama bangku bakal dibentuk seperti ini aja kali ya?— gimana Revan?"

Coach  •ᴠᴋᴏᴏᴋ [COMPLETE]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon