|16,0|

3.7K 567 23
                                    

Budidayakan vote sebelum membaca




////




💜💜💜










Canggung sekali rasanya.

Berada disituasi yang gak pernah kalian bayangkan. Alen terus saja merutuki dirinya perihal kenapa dia gak menolak Revan sedari tadi.

Dirinya hanya menghela napas sesekali, membuang pandangannya kearah luar jendela. Tak ingin melihat pelatihnya, bisa malu dia kalau ketauan mukanya memerah.

Tak ada obrolan yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya sibuk pada pikirannya masing-masing.

Alen mati kutu, paling benci situasi seperti ini. Rasanya mau melompat saja dari jendela.

Revan juga sepertinya enggan berbicara sedikitpun, lagi pula tak ada obrolan penting yang harus dibicarakan. Dia hanya harus fokus menyetir agar cepat sampai ke rumah sakit.

"Kak Revan----". Alen memberanikan diri mencoba membuka obrolan, dia tak tahan jika begini terus.

Namun Revan hanya membalas dengan deheman membuatnya jadi urung untuk melanjutkan omongannya.

Alen mengalihkan pandangannya ke jendela lagi. Dia rasa pelatihnya ini lagi gak mau ngobrol.

Namun beberapa detik kemudian dirinya dibuat berjengit karna suara berat pelatihnya.

"Kenapa, hm?". Astaga demi Tuhan, Alen sungguhan mau melompat saja dari jendela. Hanya karna suara lembut namun berat milik sang pelatihnya membuatnya tak yakin bisa menahan diri.

Alen sempat mematung beberapa saat, namun tersadar dan menggeleng pelan sembari menunduk.

"Enggak apa kak". Cicitnya pelan.

"Perutnya masih sakit?". Revan bertanya tanpa mengalihkan pandangannya kedepan.

"Masih sih kak cuma gak sesakit tadi". Alen tak berani menatap pelatihnya, dia hanya bisa memainkan jemarinya.
"Kenapa bisa sakit? Emangnya tadi gak makan?". Tanya Revan lagi, basa basi aja sebenernya, namun kali ini sesekali menoleh ke Alen yang terlihat sedang sibuk dengan jarinya.

"Makan kak pagi, tapi walaupun telat makan ataupun gak makan sekalipun biasanya gak pernah sakit begini"

Saat lampu merah menyala, Revan memfokuskan pandangannya ke Alen.

"Maaf ya kak kalo aku ngerepotin". Alen memberanikan diri menatap mata Revan, sialnya pelatihnya pun juga menatapnya.

"Gapapa, kamu anak didik saya. Lagi pula Leo juga udah nitipin kamu ke saya". Jawabnya yang membuat Alen mengerjapkan matanya bingung.

"M–maksudnya kak?". Tanya Alen hati-hati.

"Kamu sepupunya Leo kan? Leo itu pegawai saya. Bukannya kamu pernah ke cafe armyland waktu itu sama Darrel?". Ah mengingat Darrel, Revan jadi memikirkan tentang perang dingin yang terjadi di antara keduanya.

"Ah iya---tapi maksud Kak Leo nitipin aku ke Kak Revan itu apa?"

Masih dengan menatap mata Alen. "Biar ada yang jagain kamu". Lalu setelahnya menginjak pedal gas saat lampu hijau menyala.

Coach  •ᴠᴋᴏᴏᴋ [COMPLETE]Where stories live. Discover now