.14.

2.2K 353 50
                                    

Di luar sedang hujan. Deras sekali sampai suaranya terdengar ke dalam rumah. Udaranya juga jadi berubah dingin. Sedikit-sedikit masuk ke dalam celah tipis pintu geser dari balkon dan ventilasi berkasa rapat. Larutnya malam pun semakin menambah sepi karena hujan di luar.

Seokjin bisa melihat bagaimana derasnya di luar. Setengah tirai tingginya tidak ditarik untuk menutup seluruh jendela. Tanaman pot di balkon juga jadi terlampau basah. Dia menghela napas lemah, sadar kalau dia terlambat bergerak menyelamatkan dua pot untuk dimasukan ke dalam rumah. Pasti tanamannya akan mati tiga hari lagi karena kebanyakan air.

Nanti setelah pagi datang, dia harus mengganti dan membuang tanamannya ke tempat sampah di bawah.

Seokjin ingin menyalahkan Namjoon yang berada di sebelahnya, tidur terlentang menghadap ke atas, dipisahkan oleh bantal guling di tengah-tengah mereka. Perhatian Seokjin sering melirik ke arah kaki Namjoon yang ada di bawah selimut, bergerak-gerak mencari kenyamanan saat sedang bicara. Tangannya bertautan di atas perut, dan mata menatap lurus ke langit-langit. Pandangannya jauh berkelana ke masa lalu yang sedang dia ceritakan ini.

Namjoon sudah bicara sejak setengah jam yang lalu, tanpa henti, pun terlampau lancar. Sekarang dia masih bicara. Dia menceritakan sebuah kisah lama berusia tiga tahun yang telah lama dia simpan seorang diri. Seokjin sadar bagaimana gugupnya Namjoon saat bercerita—dilihat dari gerak gelisah jemarinya yang menekan punggung tangan. Sulit sekali sepertinya untuk dia.

Seokjin yang berada di sebelah, memiringkan badan, sekaligus menumpu kepalanya dengan kedua telapak tangan yang menyatu. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut Seokjin. Telinganya sibuk mendengar, menyimak, dan mengolah informasi yang cukup membuat dirinya terdiam.

Kalau Seokjin sedang berada di novel, ini pasti sedang berada di adegan pembongkaran rahasia. Tapi tidak bisa dipastikan apa ini disebut sebagai pembuka konflik atau malah sudah penyelesaian masalah.

Seokjin lega. Tentu saja.

Perasaan yang sudah lama dia simpan ternyata berbalas. Semua fantasinya akan Namjoon terwujud. Dan yang terpenting, dia bersyukur karena pria yang tidur di sebelahnya ini tidak pernah menyerah akan dirinya, meski harus menunggu sampai tiga tahun. Sama sekali tidak mustahil terjadi. Tiga tahun bukan waktu yang lama. Tapi untuk seorang Namjoon yang punya banyak manusia yang berkeliling di sekitarnya dengan tipe dan karakteristik bermacam-macam, bahkan nyaris sempurna, seharusnya dia tidak perlu menunggu satu orang dan menanggung rasa cemas setiap hari.

"Memang. Kemungkinan kau tidak menyukaiku sangatlah besar. Apalagi sebelum aku tahu perasaanmu yang sebenarnya. Setiap harinya Hoseok membawa cerita tentangmu, tapi tidak ada topik tentangku. Tentu saja aku hampir putus asa dan mulai mencari waktu kapan harus merelakan perasaan tak berbalas ini."

Senyum tipis Namjoon dengan mata menatap turun ke tangannya mendukung ekspresinya yang mengasihani diri untuk sesuatu yang tak pasti, kebodohan atau kesetiaan.

"Bagaimana kalau aku tidak pernah mengaku pada Hoseok? Lebih parahnya, bagaimana kalau aku tidak suka kau?" Pertanyaan Seokjin membuat Namjoon menoleh pelan, kemudian tersenyum singkat.

"Tentu saja. Aku akan menguburnya dalam-dalam dan membawanya sebagai kenangan. Kalau boleh, aku akan terus berharap semoga di kehidupan berikutnya kita bisa bertemu lagi dengan perasaan yang berbeda."

Berkali-kali Seokjin meyakinkan dirinya untuk tidak terlalu berharap pada Namjoon. Dia membiarkan sang waktu yang akan membawanya pergi, serta membuatkan jalan untuk dia tapaki. Termasuk membiarkan Namjoon masuk ke dalam dunianya yang sepi dan menenangkan. Namjoon tentu akan membuat 'keributan' di dunianya, tapi Seokjin tidak pernah merasa seantusias ini menunggu datangnya hari esok kalau itu bersama Namjoon.

[END] Space.  |  NamjinWhere stories live. Discover now