.4.

2.9K 435 74
                                    

Previous chapter:

1. Nonton film habis belanja buku sepertinya tidak masalah.

2. Traktir Namjoon makan dengan dalih berterima kasih. [chosen]

  

  

[...]

  

  

Semakin lama menunggu, semakin besar keinginan Seokjin untuk membatalkan janji bertemu. Dia sekarang duduk di kursi batu di pinggir alun-alun kota dengan kaki bergerak-gerak cemas dan tangan berkeringat basah menggenggam pinggiran kursi. Kepalanya nyaris pusing karena terlalu sering diangkat, bergerak cepat ke kanan dan kiri, mencari sosok Namjoon dengan pandangan was-was.

Benar, seharusnya janji ini dibatalkan saja agar Seokjin berhenti menggigit ibu jarinya yang nyaris terluka karena terlalu bimbang berpikir. Dia datang terlalu awal, sekitar tiga puluh menit lebih cepat dari yang dijanjikan. Di sampingnya ada satu gelas sisa es kopi susu yang sudah mencair dan tak lagi dingin yang dibeli untuk menemaninya menunggu. Entah kenapa kalau sedang cemas begini kerongkongannya jadi cepat kering dengan kening banjir peluh.

Ayo, Kim Seokjin. Kau masih punya waktu sepuluh menit lagi sebelum Namjoon datang. Kau bisa membatalkan janji dan pergi sendiri ke toko buku. Itu lebih aman untuk jantungmu yang lemah.

Seokjin sudah berada di kolom chat Namjoon. Tinggal mengetikkan kalimat-kalimat sopan bernada minta maaf karena sudah membatalkan janji sesingkat mungkin. Tapi, bayangan tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Untuk pesan singkat saja kepalanya nyaris berasap.

'Namjoon, pertama-tama kau harus—'

"Pertama-tama? Kau pikir ini pidato?" Hapus.

'Namjoon, aku minta maaf. Sepertinya aku tidak bisa pergi denganmu—'

"Sebentar. Sombong sekali aku milih-milih mau pergi sama siapa. Memangnya aku siapa bisa menolak pergi dengannya? Tidak bisa begini." Hapus.

'Namjoon, aku sakit perut. Aku tidak bisa keluar kamar—'

Seokjin langsung terdiam. Dia nyaris membanting ponselnya sendiri saat membaca ulang kalimat payah penuh alasan tak mendasar yang tak bisa dia lanjutkan itu. Faktanya, dia sekarang ada di alun-alun kota, tak sakit perut, dan sudah menunggu lebih awal.

Kalau Hoseok ada di sebelahnya sekarang, dia bisa ditertawakan sampai guling-guling. Kesal rasanya membayangkan wajah meledek Hoseok dengan jari menunjuk ke kebodohan Seokjin sambil menahan perut yang keram karena terlalu semangat tertawa.

Entah apa yang telah dilakukan buyutnya dulu sampai cicitnya mesti mendapat karma besar dalam bentuk manusia bernama Jung Hoseok.

Kepala Seokjin menggeleng kuat lalu membulatkan matanya yang sudah bulat agar dirinya kembali fokus pada rencananya. Mengirim pesan pembatalan pada Namjoon yang rasanya ingin berteriak saja saking sulitnya. Seokjin ingin tenggelam saja rasanya daripada terjebak seperti ini.

Belum sempat jarinya mengetik, bahunya tiba-tiba ditepuk kencang dari belakang oleh seseorang tinggi menjulang berbalut celana jeans longgar dengan hoodie hitam berlapis bomber coklat. Seokjin mendongak, sontak bangkit dari duduknya dengan kaki melangkah mundur beberapa langkah dengan gerak cepat. Wajah Namjoon di balik topi hitam jadi ikut-ikutan kaget dengan mata membulat bingung.

"Kau seperti habis melihat hantu saja," ujar Namjoon polos.

Kau yang hantu!

"Sejak kapan kau ada di belakangku?" tanya Seokjin panik dengan mata membulat kaget, menuding wajah Namjoon dengan telunjuk. Dia bahkan tak sadar kalau Namjoon sudah datang. Dia tak lihat apa yang dilakukan Seokjin dari tadi, kan?

[END] Space.  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang