.12.

2.2K 336 43
                                    

Previous Chapter:

(1) Biarkan Namjoon masuk ke dalam rumahnya lebih dulu, sementara dia pergi bicara dengan Jae Hwan di atap. [chosen]

(2) Ajak mereka berdua masuk ke dalam. Jae Hwan sudah lama menunggu. Setidaknya persilahkan dia masuk.

   

    

[...]

    

   

Suara pintu yang menutup dengan alunan musik kunci sandi seolah menyapa Seokjin dan Namjoon yang masuk ke dalam rumah milik Seokjin. Si pemilik buru-buru melepas tasnya kemudian masuk ke dalam sebuah kamar, meninggalkan Namjoon yang berdiri mematung di tengah rumah. Tak tahu apa yang harus dia lakukan di rumah orang lain meski rasanya tak masalah bagi si pemilik soal dia mau melakukan apa dan mau duduk dimana.

Tak lama Seokjin keluar dari ruangan itu dengan pintu berdebam dan mantel tebal bulu di pelukan. Dia juga menutupi dirinya dengan mantel berjenis sama tapi memiliki warna yang berbeda. Kepala Namjoon mengikuti gerak pria itu yang bertingkah buru-buru hendak keluar rumah. Tiba-tiba saja Seokjin berbalik cepat menghadap Namjoon dengan bahu naik turun dan napas yang berhembus pendek-pendek.

"Maaf, Joon. Aku takkan lama. Kalau kau bosan menunggu, kau boleh menelponku. Tapi, aku janji aku takkan lama. Maaf, ya."

Seokjin merasa sangat bersalah harus mendahulukan Jae Hwan daripada Namjoon yang notabene sudah bersamanya dari sore. Bahkan dia juga yang mengundang Namjoon ke rumahnya. Tapi, dia malah mengutamakan Jae Hwan dan memberikan janji palsu yang entah bisa ditepati atau tidak. Jae Hwan pasti akan lama menahannya karena pria itu tidak suka buru-buru.

"Pergilah. Jae Hwan menunggu." Seokjin lega sekali mendapati Namjoon yang mengangguk ringan padanya sembari tersenyum. "Sembari menunggu, tak masalah 'kan aku ambil makanan di kulkasmu? Aku juga butuh TV-mu untuk drama malam."

Seokjin langsung tergelak mendengarnya dan mengangguk-angguk cepat. "Anggap saja seperti rumahmu sendiri. Tapi, jangan buat ramyeon! Aku tahu kau tidak bisa memasak. Tunggu, ya."

Suara dan sosok Seokjin menghilang dari balik pintu secepat peringatan yang dia berikan untuk Namjoon yang melipat bibir, malu karena Seokjin tahu soal kemampuannya dalam memasak.

Dia jadi ingat bagaimana marahnya Hoseok saat dia tanpa sengaja memasak nasi instan di dalam microwave dengan kondisi terbuka. Atau saat dia mencoba memasak telur gorengnya sendiri, tapi malah penggorengannya yang terbakar. Padahal baru dibeli dua hari yang lalu.

Kim Namjoon yang dikenal sempurna dan bisa melakukan segalanya, ternyata tak bisa memasak.

Namjoon, dengan tangan menggaruk kepalanya yang mendadak gatal, berjalan bingung antara mau ke kulkas atau menyalakan TV dulu. Dia biasanya tidak sebingung ini jika sedang di rumah, bahkan saat di rumah orang tua Hoseok. Pun dia sudah dapat izin untuk membuka kulkas dan menyalakan TV—mungkin dia juga diperbolehkan mengambil alas tidur di lemari bantal—tapi tetap saja rasanya canggung.

Cepatlah kembali, Jin...

Sementara Kim Namjoon sedang bergulat dengan pilihannya antara mau menyalakan TV atau mengambil cemilan, Kim Seokjin pun tak jauh berbeda dengannya.

Gigi di dalam mulutnya beberapa kali menggigit bibir bagian dalam sementara tangannya mengepal kencang di dalam saku mantel akibat gugup menunggui kalimat apa yang akan diucap Jae Hwan padanya. Diliriknya si pria yang berada di sebelahnya ini, tak terlalu berjarak tapi tidak terlalu dekat juga. Tidak ada satupun yang terucap dari bibirnya semenjak mereka menginjakkan kaki di atap gedung apartemen ini. Seokjin nyaris kehilangan kesabarannya dan mengetuk-ngetuk ujung kaki pada lantai semen dengan cepat.

[END] Space.  |  NamjinWo Geschichten leben. Entdecke jetzt