First time in new world

469 8 0
                                    

Jalan satu-satunya adalah mati, yah untuk kegilaan yang kesekian kalinya. Tak pernah merasakan hal ini sebelumnya, memang benar jangan terlalu mencintai apapun berlebihan di dunia ini. Kau tau? Semua ini karena hujan.

Aku seperti seorang psycedhelic, sangat mencintai hujan. Entah mengapa, saat hujan turun semua perasaanku hanyut di dalamnya. Entah itu sedih atau senang. Ia bisa mengusap air mata kesedihanku, bersenang-senang denganku ketika hatiku berbunga. Aku bisa menari bersamanya, walau di tengah malam yang tak seorangpun tau. Tapi semua itu keliru.

Itu salah besar, sampai ketika aku kehilangannya. Dia, yang kucintai. Tak pernah aku sebahagia ini sebelumnya. Tak pernah aku merasa terlindungi seperti ini, bagai pelukan malaikat pelindungku. Hanya dengan sentuhannya saja aku merasa pulih dari keraguan, bahkan kesengsaraan hati. Yah, baru kali ini aku merasakannya. Itu berkatmu. Sebelum aku bisa melengkapi tulang rusukmu.

***

Cahaya putih mulai mengenai mataku, sinarnya seakan memerintahkanku untuk tersenyum bersamanya. Hey, itu dia. Aku bertemu lagi dengannya. Matanya terlihat begitu jelas, merah tembaga. Kulitnya putih pucat, dan apa yang ada ditangannya itu. Sebuah mawar merah. Kuharap ini bukan mimpi lagi. Oh tidak semuanya tetap saja sama.

Mimpi itu lagi, mengapa semua itu hanya mimpi keindahan itu, bunga mawar itu, dan semuanya.

Kehidupanku memang datar, dingin sama sepertiku. Tak banyak teman yang kupunya dikelas. Yah, benar, selama ini aku hanya bersama imajinasi dan bayanganku saja.

Hari pertamaku di sini, kompleks yang semua orang-orangnya tak seramah di rumah dulu. Memang benar sangat mewah, tapi untuk apa kemewahan ini tanpa kebaikan. Di sinilah aku bersekolah. Jangan lagi, aku selalu bersama sopir sewaan dad. Ini sangat membosankan.

Tak banyak teman sekelas yang menyukaiku memang, hanya ada Florynn dan Heyna. Merekalah yang cukup dekat denganku di kelas. Selain itu, entahlah, mungkin mereka tak pernah menganggapku ada.

Aku benci hujan, but I Love RainWhere stories live. Discover now