25 : Playboy Cap Ikan Terbang

571 68 55
                                    

Ruangan Seno sangat berbeda dengan ruang kerja Arjuno dulu. Annika pikir, ruangan Seno akan menggambarkan pribadi pria itu-pendiam, berwibawa, elegan. Nyatanya, saat ini Annika tengah berada di dalam ruangan yang di dominasi warna Turquoise dan kuning pastel.

"Mau kopi?"

Annika menggelengkan kepalanya, kembali mengamati ruangan Seno yang entah kenapa bisa membuat hati orang yang memasuki ruangan itu menjadi tenang.

"Jadi..."

Suara berat yang terdengar dari samping membuat Annika segera menoleh. Sekali lagi, Annika mengagumi wajah Seno yang benar-benar tampan. Ia bahkan yakin jika Seno bisa masuk ke dalam keluarga di komik online yang dibacanya-keluarga terlalu cakep.

"Kamu mau makan dimana?"

Pertanyaan yang diajukan Seno membuat Annika mengeryit. "Kok tanya aku?"

"Iya, kan seleramu sama aku beda. Aku nggak mau booking di tempat yang nggak sesuai sama seleramu."

Annika terdiam sejenak, sebelum mengalihkan perhatiannya pada pemandangan yang terlihat di balik jendela besar ruangan Seno. "Terserah kamu aja mau makan dimana. Asal nggak kepiting aku oke-oke aja sih."

"Oh, okay." Seno segera mengeluarkan ponselnya, memesan tempat di salah satu resto yang menjadi langganan keluarganya.

Keheningan meliputi keduanya selama beberapa saat, sampai pintu Seno yang terbuka secara tiba-tiba dengan keras membuat Annika terlonjak.

"SENOOOO! Lo gak akan percaya apa yang barusan gue alami-oh."

Annika mengusap dadanya, kini merasa kesal. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa ia-mantan ketua nyctophile-berulang kali dikejutkan dengan hal-hal sederhana. Apakah ini pertanda bahwa ia harus kembali aktif di nyctophile demi menajamkan dirinya yang mulai tumpul?

"Chandra."

Mengikuti arah pandang Seno, Annika menemukan pria tinggi-yang bahkan lebih tinggi dari Seno-tengah bersandar pada kusen pintu. Gayanya sungguh arogan, dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan kepala yang sedikit terangkat, menatap Annika dan Seno dengan satu sudut bibir yang terangkat.

"Wow. Gue nggak tahu lo punya gandengan baru. Gue pikir lo bakal berakhir dengan Cantika."

Mendengar nama teman masa kecil Seno yang ia temui saat berkunjung ke rumah orang tua pria itu, rasa penasaran Annika bangkit. Ia memang punya dugaan bahwa ada sesuatu antara Seno dan teman masa kecilnya itu. Annika sedikit merasa puas saat tahu dugaannya benar, hingga tanpa sadar ia mengangguk-angguk kan kepalanya dengan pelan-membuatnya menerima tatapan aneh dari Chandra.

"Ngapain lo kesini?" Jelas sekali bahwa Seno mengabaikan ucapan Chandra, tidak ingin membahas lebih lanjut apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya itu.

Mengetahui bahwa Seno sedang tidak dalam mood untuk bercanda, Chandra kembali teringat tujuan utamanya. Dengan cepat pria itu melangkahkan kakinya dan duduk tepat di seberang Seno dan Annika. Ia menatap Seno dengan berapi-api.

"Lo gak akan percaya apa yang barusan gue alami!"

Seno menggelengkan kepalanya, "Emang lo kenapa?"

BRAK!

Annika meringis saat Chandra menggebrak meja kaca yang berada di tengah-tengah mereka. Ia beralih melirik Seno-dan hampir saja tawanya keluar saat melihat ekspresi Seno yang masam. Jelas sekali kekasihnya itu sedang menahan diri untuk tidak mengusir pria lebay di depan mereka ini.

"Gue! Chandra Wishnu Kusmawan! Cowok yang bahkan bisa buat tante lo malu-malu, baru aja disemprot sama cewek! Guee! Seorang Chandra!"

Sungguh, ingin rasanya Annika melempar vas cantik dan mungil yang ada di atas meja kaca tepat pada wajah Chandra. Belum pernah ia bertemu dengan pria yang punya tingkat percaya diri setinggi ini. Dalam hati, Annika berharap ia bisa bertemu wanita yang telah menginjak-injak harga diri pria yang tingkat percaya dirinya terlalu tinggi ini, lalu memberi wanita asing itu pujian dan kalau perlu memberi hadiah alat make-up.

Not a Fake Lover ✔Where stories live. Discover now