BAGIAN 03

69 4 1
                                    

"FERA, jangan biasain nggak sarapan kamu, ibu nggak mau kamu sakit, akhir-akhir ini ibu juga jarang lihat kamu nyentuh piring."

Aku yang masih duduk di kursi sambil meneguk segelas teh hangat buatan ibuku, lantas saja aku berhenti minum saat ibu memperingati untuk sarapan pagi. Aku memusatkan seluruh perhatianku pada ibu, senyuman tipisku kini terbentuk.

Betul apa kata ibu, aku sendiri juga tidak bisa menyangkal jika belakangan ini aku jarang gabung sarapan pagi. Entah karena apa, aku hanya merasa malas saja.

"Fera belum lapar Bu, nggak pa-pa kok. Fera nggak bakal sakit," jawabku lembut.

Ibu menghela napas pendek, ia sepertinya tidak mau mendengar ucapanku barusan. Lihat saja, aku bahkan melotot sewaktu ibu menyambar piring dan mengisi beberapa centong nasi di atasnya. Lalu ibu menambahkan sayur lodeh, ikan goreng, dan terakhir mengambil sendok. Aku tersentak ketika tiba-tiba ibu menyodorkan sepiring nasi tersebut.

"Ibu nggak mau denger alasan kamu lagi, makan sekarang atau kamu nggak bakal ibu beri uang jajan?" ancam ibuku.

Aku mendecakkan lidah dan memutar bola mataku malas. Menyebalkan sekali ibuku ini, pintar sekali memberikan sebuah ancaman yang pasti bakal aku lakukan. Dengan perasaan setengah terpaksa, aku mulai menyendok nasi dan mengarahkannya ke mulut. Kutatap ibu yang sudah mengusung senyuman lebar. Lain dengan diriku yang malah menahan kesal.

Belum habis setengah, aku menyudahi acara sarapan pagi. Napsu makanku memang tidak ada akhir-akhir ini. Aku malah lebih sering jajan di kantin, meskipun makannya di kelas.

"Udah kenyang Bu, Fera nggak tahan," ujarku pada ibu seraya mendorong piring yang isinya bahkan berkurang sedikit. Nyaris masih utuh. Tentu saja hal itu bisa terjadi, aku hanya menyuapkan nasi tidak lebih dari lima sendok.

Ibu berdecak ketika melihat piringku yang masih utuh. "Itu nasinya masih banyak Fera, nggak boleh gitu. Kamu harus habisin, mubazir," tegur ibuku.

Aku menatap ibu dengan sorot mata memelas. Sumpah, aku tidak bohong soal aku yang sama sekali tidak lapar pagi ini. Sampai akhirnya ibu menyerah dan menghela napas panjang. Dapat aku lihat jika ibu mengeluarkan sebuah uang dari dalam dompetnya. Melihat hal itu, otomatis saja senyumanku terbentuk lebar.

"Nih, sekalian buat besok." Ibuku berujar ketus, tapi aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya mengangguk paham dan buru-buru bangkit dari kursi. "Fera berangkat sekolah dulu Bu, assalamu'alaikum."

Kujulurkan tanganku untuk menyalami ibu, yang disambut ibu dengan baik. Setelah ibu membalas salamku, aku segera berlari kecil mengambil tas yang berada di kamar.

Seperti pagi biasanya, aku menunggu bus sekolah yang biasanya lewat di depan rumah. Tidak menunggu waktu yang lama, kendaraan beroda empat itu sudah berhenti di hadapanku. Langsung saja aku naik dan mencari tempat duduk favoritku. Yaitu di pinggir jendela.

Aku senang menatap pemandangan jalanan kota yang lumayan sepi di pagi hari seperti ini. Asik tenggelam dalam pikiran rumitku, aku tersentak kaget ketika bus yang aku tunggangi ini berhenti secara tiba-tiba. Jantung nyaris copot dibuatnya.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai menatap sekitarku. Murid lain yang satu bus denganku sudah berdiri dan berjalan keluar. Aku mengerutkan kening, dan lantas menoleh. Dan, detik itu juga aku menepuk jidatku. Pantas saja, rupanya aku sudah sampai di sekolah.

Berjalan ringan dan membayar ongkos, aku pun keluar dari dalam bus dan sedikit berlari untuk cepat-cepat sampai di dalam kelas. Aku baru sadar jika cuaca pagi ini tidak mendukung. Udara terasa lebih lembab, langit yang biasanya cerah, kini juga dipayungi oleh gumpalan awan gelap.

"Fera!"

Sebuah panggilan cukup keras membuatku yang sebelumnya sedang terburu-buru lantas saja berhenti berjalan. Aku menolehkan kepala ke arah sumber suara berasal. Hingga aku mendapati Siska, teman kelasku, sedang berjalan menghampiriku dengan senyuman lebar.

Aku mungkin pernah bilang ke kalian bahwa aku tidak memiliki teman di kelas. Itu benar. Tapi, Siska adalah pengecualian. Di kelas, Siska lumayan dekat denganku. Hanya Siska seorang yang menganggap diriku sebagai teman. Entahlah, aku tidak tahu pasti. Entah aku yang terlalu kepedean atau memang dasarnya Siska yang mudah bergaul. Mungkin opsi yang kedua lebih mendukung. Pernyataan itu diperkuat bahwa Siska sering bergaul dengan semua anak kelas.

Sadar jika aku sudah terlalu lama diam, akhirnya aku tersenyum kikuk dan membalas ucapan Siska. "Eh Siska, kenapa?" ujarku sedikit canggung.

Aku melihat senyuman Siska yang semakin lebar. "Nggak pa-pa, cuma manggil aja sih," ucapnya. "Sekalian pergi ke kelas bareng." Omongan Siska diakhiri dengan senyuman getir.

Aku membalasnya dengan anggukan samar dan senyuman tipis. Sepanjang perjalanan menuju lorong kelas, aku dan Siska saling diam. Tidak ada yang berbicara. Kabut keheningan mengelilingi kita.

Sudah aku bilang bahwa aku tidak pandai untuk memulai obrolan. Aku seringkali diam. Mungkin hal itulah yang membuat semua orang menjauhi dan tidak mau berteman dengan orang aneh seperti diriku ini. Atau mungkin, mereka tahu bahwa aku bisa melihat mereka yang tak kasat mata? Jadi semuanya takut berteman denganku?

Aku menggeleng, hal itu jelas tidak mungkin. Hanya aku yang tahu kelebihanku ini.

"Fera, lo kenapa?"

Aku langsung menoleh ke samping dan melihat Siska yang sudah menatapku aneh. Aku berkedip. "Iya Sis?"

"Lo lagi banyak pikiran, ya?" tebak Siska. "Gue perhatiin lo dari tadi diam dan terus geleng-geleng."

Aku terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana. "Nggak kok."

Siska sepertinya tidak mau memperpanjang masalah, dengan cepat temanku itu mengangguk mengiyakan. Sampai akhirnya kita sudah sampai di kelas. Aku dan Siska memisahkan diri.

Sebelum aku benar-benar berjalan menuju bangkuku yang berada di pojok kelas, aku menyempatkan diri untuk melirik Siska yang sudah bergabung dengan teman-temannya. Aku menghela napas pendek. Siska memang tipikal orang yang mudah sekali berbaur dengan orang lain, terlihat begitu kontras denganku yang sama sekali tidak suka tempat ramai. Bagiku, sendiri adalah tempat terbaik.

Di kelas, aku memang duduk sendirian. Jumlah siswa di kelasku ini-X IPA 3, memang berjumlah ganjil. Aku memang tidak memiliki teman bangku, itu jika dilihat dengan pandangan normal seperti teman kelasku. Padahal saja, tanpa sepengetahuan mereka, aku tidak selalu sendiri.

Mereka salah, aku tidak sendiri. Ada makhluk astral yang selalu berada di kursi kosong tempatku duduk. Dia seorang gadis berpakaian putih lusuh, pemilik senyuman manis, seluruh tubuh berwarna putih pucat. Bahkan, bibirnya pun terlihat nyaris seperti warna kulitnya.

Namanya Tira.

TBC

Apapun Asalkan SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang