Yang pertama adalah Mark. Ia mengarahkan senapan barunya yang kelihatannya jauh lebih canggih. Setelah membidik sebentar akhirnya ia menembak. Suaranya terdengar cukup kencang dan pelurunya melesat dengan cepat. Sesaat kemudian, senapan itu mengeluarkan asap tipis.

"INI LEBIH BAGUS DARI SENJATAKU YANG SEBELUMNYA, TAPI INI BENAR-BENAR BERAT!" teriak Mark agar terdengar oleh kami semua karena jarak kami yang cukup jauh.

"SENJATA BERAT UNTUK ORANG BERAT" teriak David. Walau terdengar menyebalkan, tapi kali ini aku setuju.

Mark menatap David sebentar, lalu ia mengarahkan senapannya ke arah David, membuat David panik. Aku sendiri menelan ludah saat Mark mulai membidik. Untung bukan aku yang bilang seperti itu.

"AKU BERSUMPAH AKU HANYA BERCANDA!" teriak David panik disusul oleh Mark yang menurunkan senjatanya sambil menatap jengkel. Aku bahkan tak bisa berkata-kata.

Kali ini giliran Ri. Ia mengeluarkan senjata logam miliknya yang berbentuk seperti kilatan berwarna hitam. Kedua tangannya sedikit gemetar. Kami semua memperhatikan Ri yang mencoba untuk fokus. Satu detik, dua detik, ia masih diam. Namun setelah sekitar 30 detik menunggu, tetap saja ia masih diam.

"RI, KAU MAU MULAI ATAU TIDAK?" tanya Mark tak sabar.

"Ini tak semudah kelihatannya. Aku belum bisa mengendalikan benda ini!" kata Ri yang sepertinya kelelahan bahkan sebelum mulai.

"Untuk itulah kau di sini, Ri" kata Tn. Jonathan mendekati Ri dengan kudanya.

"LEPASKAN SAJA KE TANAH, RI!" teriak David ikut-ikutan.

Ri semakin gugup. Wajahnya mulai berkeringat. Aku hanya memandangi dari jauh, tak mengerti apa yang ia rasakan. Ia memejamkan mata sekejap sambil menarik nafas panjang sesaat sebelum ia mendorong senjatanya, mengeluarkan kilatan petir yang menyambar tanah, membuatnya retak. Sela-sela tanah yang telah retak itu mengeluarkan asap tipis.

Kami semua tertegun. Dengan kekuatan seperti itu, bukan tak mungkin senjata Ri bisa menembus sampai 5 zombie sekaligus. Dan lebih baiknya, ini hanya sebuah percobaan, yang mana kekuatan yang dihasilkan belum 100%. Tapi tentu saja, tantangan terbesar Ri adalah mengendalikan senjata itu karena aku yakin Ri pun tak ingin menjadi gosong hidup-hidup.

Aku menatap mereka semua, mencoba menganalisis senjata mereka. Cakram Ex masih ia sembunyikan di balik sarung kainmya. Aku menghela nafas panjang. Ini mulai membingungkan. Aku mengintip gergaji mesinku yang berada di dalam tempatnya. Percobaan senjata ini akan sia-sia bila tak ada objek yang bisa diserang. Ri hanya akan membuang-buang tenaga, begitu juga David. Peluru senapan milik Mark juga terlalu disayangkan bila hanya digunakan untuk menembak pohon, atau dalam kamusku; hal tidak jelas. Dan aku sendiri? Kau bisa bayangkan apa yang harus kulakukan dengan gergaji mesinku bila tak ada objek yang harus kuserang? Maksudku, ayolah, menggergaji angin itu tidak lucu.

"Anak-anak! Bagaimana kalau kita mengetes kekuatan senjata kalian dengan menyerang zombie langsung? Efeknya akan lebih jelas!" teriak Tn. Jonathan seolah tahu apa yang baru saja kupikirkan. Ia ini seorang sherif atau peramal?

Yang lain mengangguk. Tn. Jonathan dan kudanya berjalan lebih dahulu, ke arah yang kami sendiri tak mengerti ia mau kemana. Kami hanya mengikutinya dari belakang seperti barisan anak bebek yang mengikuti induknya. Yah, setidaknya, kami tak punya paruh. Haha.

"EH?"

Aku tiba-tiba terpikir sesuatu. Tapi- ah mungkinkah firasat ini benar? Jika-

Aku mempercepat langkahku, mencoba menyusul yang lainnya agar bisa disamping Tn. Jonathan. Yang lain memperhatikanku yang tiba-tiba terlihat terburu-buru. Aku menatap Tn. Jonathan yang berada di atas kuda hitamnya. Sayangnya, kudanya yang balik melirikku.

"Sir!" seruku cukup kencang.

"Hm?" katanya, masih menatap ke depan.

"Aku punya suatu hal untuk dibicarakan" kataku mendekatkan diri walaupun aku sadar, tak akan sampai.

"Baiklah, setelah kau menyelesaikan latihanmu" kata Tn Jonathan tiba-tiba menghentikan kudanya.

Di depan kami sekarang adalah jembatan gantung. Aku sadar, setelah melewati ini, hidupku akan terancam lagi. Ah, tidak, sebenarnya dimana pun, hidupku sudah tak aman. Tapi entahlah, ini sudah cukup lama semenjak aku menggunakan gergaji mesinku untuk menghancurkan zombie-zombie itu.

Aku menelan ludahku, mencoba melewati jembatan gantung ini bersama Tn. Jonathan. Yang lain mengikuti di belakang. Jantungku berdegup cukup kencang. Tunggu, kenapa ini membuatku gugup sekali? Maksudku, aku sudah membunuh puluhan zombie dengan gergaji mesinku ini, tapi- ini membuatku gugup.

Kurasa jembatan gantung ini sudah cukup tua. Deritan demi deritan terdengar sepanjang kami berjalan. Sebenarnya, jembatan ini tak terlalu panjang, hanya sekitar 55 meter dari ujung sampai ujung. Namun, di bawahnya ada jurang yang cukup curam yang memisahkan antara desa damai ini dengan kehidupan bebas penuh zombie. Setelah hampir dua menit kami berjalan lambat, akhirnya kami sampai ke ujungnya. Tali penyangga jembatan itu terlihat lebih lusuh dari yang lainnya. Ah, mengapa aku memperhatikan hal-hal semacam ini? Lagipula, jembatan ini tak akan tiba-tiba roboh seperti yang ada di film-film aksi, bukan?
"Ayo berpencar. Aku dengan Ri, kau dengan Ex dan David" kata Mark tiba-tiba sambil mendekat.

"Tapi aku ingin dengan Ex" gumam Ri pelan.

"Ri, aku juga ingin denganmu-" kata Ex sengaja memotong kata-katanya, memperhatikan Ri tersenyum malu.

"Tapi aku lebih ingin bersama Mam-ku. Aha!" kata Ex dengan bangga, mengubah senyum Ri menjadi tatapan kesal ke arahku. Hei, aku salah apa?

"Mark, aku tak ingin bersama El. Dia galak" kata David mengeluh pada Mark.

"Ini tak akan pernah selesai. Bahkan untuk hal seperti ini kalian masih harus berdebat, ho ho. Kalau begini caranya, kalian akan mati bahkan sebelum berperang melawan zombie-zombie itu" kata Tn. Jonathan. Ah, benar juga.

"Perang?" kata Ex bingung.

"Lupakan, lupakan. Biar aku yang tentukan" kata Tn. Jonathan sambil memperhatikan kami.

"Mark, kau dengan David. Ri, kau bisa berbahagia dengan Ex. Aku akan pergi dengan El" kata Tn. Jonathan.

"Astaga... sepertinya aku akan kelelahan" gumam Mark menyadari bahwa ia harus pergi dengan David.

"Astaga..." gumam Ex dengan wajah yang tak bisa dimengerti. Entahlah, aku tak bisa menebak pikirannya.

"Ini lebih merepotkan dari hari Senin" kata Mark segera setelah menghela nafas panjang.

"Ini hari apa?" tanyaku tiba-tiba. Hanya karena ingin bertanya.

"Selasa. Selasa 13" celetuk Ri. Tn. Jonathan menatapnya dalam, berpikir sebentar.

"Sepertinya kita harus batalkan latihan hari ini" kata Tn. Jonathan. Nada bicaranya tiba-tiba berubah.

"Eeeeh? Kenapa?" kata David kecewa. Aku yakin ia benar-benar ingin mencoba senjata barunya.

"Kalian- ah. Baiklah. Dengan satu syarat" kata Tn. Jonathan ragu.

"Apapun syaratnya, apapun asal kami bisa pergi hari ini" kata Ri sedikit memelas. Akan sangat mengecewakan bagi Ri bila ia tak jadi berduaan dengan Ex. Ha. Aku tahu maksudmu, Ri. Aku tahu.

"Pastikan kalian kembali melewati lembah tempat mobil kalian di simpan sebelum bulan purnama muncul. Kalian tak akan pernah mau tahu apa yang akan menimpa kalian bila kalian melanggarnya" kata Tn. Jonathan membuatku lebih merinding.

Kami semua menelan ludah, mulai ragu. Aku yakin semua orang di sini ingin bertanya apa alasannya pada Tn. Jonathan, tapi terlalu takut, Kami berdiri berjajar, menatap ke arah hutan pepohonan tinggi ini. Setelah hutan terlewati, kami akan sampai di jalanan panjang penuh pasir yang seakan tak ada habisnya sampai akhirnya bertemu dua tebing kanan kiri yang tinggi, melewati jalan sempit di antara dua tebing, dan, BOOM. Zona merah. Bukan tak mungkin kami bertemu manusia-manusia kanibal itu lagi. Tapi tak apa, semua ini akan segera berakhir. Semoga.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now