26. A Woman A Man Could Ever Want

1.8K 233 12
                                    

Andreas

Oh Manda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oh Manda... .

Inikah saatnya aku menyerah? Aku malas sebenarnya membalas perasaan seseorang, selain merepotkan, kupikir aku belum ingin-ingin amat punya hubungan khusus. Kondisiku nganggur pun, apa bagusnya? Aku nggak suka direndahkan oleh perempuan. Akan tetapi... ini kan Manda, perempuan paling polos dan tulus yang pernah kutemui, orang yang nggak pernah ngerendahin siapa pun, bahkan pembantu budeknya yang nyebelin itu aja sama dia diperhatiin banget.

"Manda udah suka sama Kak Andre dari pertama Manda lihat, bukan sekadar pengen em-el. Manda bilang gitu karena Manda takut Kak Andre bakal lari kalau Manda anggap macam-macam. Kak Andre...." Manda membuka kelopak matanya. "Manda nggak apa-apa kalau Kak Andre nggak mau jadi kasihan Manda, tapi boleh nggak Manda minta satu hal sama Kak Andre?"

"Apa, Manda?"

Mata Manda menggeriap, bulu matanya bergerak-gerak resah. Karena gemas, aku mencium dalam-dalam sekali lagi bibirnya, dan berulang kali di dua matanya yang kemudian tertutup manja. Senyuman terbit dan tampak bahagia.

"Apa siiih?" godaku. Kugelitik pinggangnya yang telanjang, firasatku bakalan ada ronde kedua.

"Manda paling nggak suka berbagi," katanya pelan.

"Maksudnya?"

"Boleh nggak Manda minta Kak Andre nggak deketin Karen?"

Jantungku mencelus. Well..., nggak butuh tebakan jitu sih memang buat memprediksi apa yang kuingin lakukan terhadap wanita secantik Karen, tapi aku nggak nyangka Manda sampai tega mengungkap apa yang ada di pikirannya.

Apa dia menyukaiku sampai sebegitunya?

"Sini...," suruhku.

Manda mengerucutkan bibir, mengangkat tubuhnya dan duduk di antara pahaku yang terbuka. Kuletakkan dua betisnya di dua sisi pinggangku. Dengan santai, perempuan itu mengelus rambut pubisku sambil menunduk malu-malu. Jelas bukan malu karena penisku teracung, tapi karena aku menatapnya lekat-lekat.

"Cuma itu aja mintanya?"

Manda mengangkat dagu, tapi tetap membisu.

"Coba jawab. Nggak ingin minta lebih?"

Manda merapatkan tubuhnya ke tubuhku, menjepit ereksiku di antara perut kami. Aku meringis, tapi sensasi hangatnya bikin aku nggak ingin mengingatkan Manda.

"Manda nggak berani," kata Manda parau.

"Kenapa nggak berani?"

"Sebab Kak Andre kayaknya bukan tipe seperti itu, Manda takut Kak Andre malah benci Manda nantinya," jawabnya terus terang.

Aku kan jadi makin malu hati. What kind of man Ii turn to be?

"Jadi Kak Andre mau janji sama Manda?" tanya Manda lagi. "Kalau Kak Andre ada apa-apa sama Karen, Manda nggak akan sanggup, Kak. Manda mundur aja. Manda nggak mau benci sama sahabat Manda, nggak bisa tahu-tahu berhenti sayang sama Kak Andre juga. Kalau Kak Andre nggak mau janji, mendingan Manda putusin kita hentiin aja hubungan Manda sama Kak Andre, biar Kak Andre bebas...."

"Shhhh!" desisku. Kuangkat pantat Manda, kurapatkan kedua kakiku hingga dia duduk sepenuhnya di atas pahaku. Kubelai pipinya, "Gimana kalau kamu jadi punya Kak Andre aja?"

Mata Manda membulat sempurna.

"Tapi Kak Andre lagi bokek, pengangguran pula!"

"Kak Andre kalau bercanda jangan keterlaluan, Kak!" Manda cemberut. "Manda serius sayang sama Kak Andre, jangan becandain Manda, please...."

Aku diam, menimang-nimang. Siapkah aku memulai hubungan baru dengan seseorang? It's been so quiet living alone, meski aku tidak memungkiri kalau aku butuh kasih sayang kadang-kadang. Butuh seseorang buat dipeluk, bukan hanya untuk berbuat. Kehangatan tubuh Manda membuatku nyaman. Aku memang belum punya perasaan khusus kepadanya, tapi masa sih aku tidak bisa membangun perasaan sayang ke perempuan seperti Manda?

She is a woman a man could ever want.

Manda mungkin nggak sempurna, tapi memangnya aku ini siapa ngarepin perempuan sempurna?

Pada akhirnya, aku tidak mengulangi pertanyaanku. Aku hanya menyanggupi permintaan Manda buat nggak ngapa-ngapain sama Karen. Setelah kejadian sore tadi, kupikir nggak mungkin juga lah kami ngapa-ngapain. Gila apa? Manda juga sepertinya lebih nyaman dengan hubungan begini, asal aku nggak ada main dengan sahabatnya.

Untuk jadi kekasihku..., kok aku punya anggapan dia nggak tertarik, ya? Kalau tadi dia bilang iya, aku tentu tidak akan menarik ucapanku. Punya pacar lagi..., setelah bertahun-tahun sendiri, bakal kayak apa rasanya?

Aku memutuskan pulang sebelum petang, sebelum Bunda bawel nanyain seharian aku ke_mana.

Aku bertanya-tanya, gimana reaksi Yoga saat melihat mukaku malam ini.? Apa dia marah? Apa kali ini dia akan teriak ke mukaku dan mulai memperlihatkan sisi lain dirinya di depan Bunda? What would he think of me?

Aku jengkel sama diriku sendiri. Mukulin kemudi gini juga nggak bikin anxiety-ku mereda. Aku ini mutan atau apa, sih? Hanya karena aku tersinggung sama muka datarnya, yang tenang aja meski hidupnya penuh derita? Atau benar semua itu kulakukan karena aku menginginkan Karen? Kenapa mulutku bisa sesadis itu? Bunda ngidam apa sih waktu hamil aku?

"Well... Aku kasih tahu ya, Karen. Kamu jauhin aja Kevin dari Yoga. Aku tahu sih orientasi seksual itu nggak bisa berubah, tapi kalo perilaku seks sih bisa. Kevin melambai belum tentu dia sukanya laki-laki. Tapi kalo kebanyakan bergaul sama gay, bisa aja dia... You know... berubah haluan. Aku nggak mau bilang ini sebenernya, tapi ini buat kebaikan Kevin. Yoga itu gay."

Ini semua karena Bunda. Kalo siang itu setelah Yoga berangkat sekolah Bunda nggak pake menangisi hidup pemuda itu, aku nggak perlu punya perasaan bersalah sedalam ini. Harusnya tadi aku langsung cabut aja, nggak perlu nanyain kenapa Bunda kelihatan murung.

"Please... Make him happy, Andre. For once in your life, do something right," kata Bunda.

Lalu... Here Ii am. Merasa bersalah.

It's so ain't myself.

Kenapa aku nggak bisa nyantai kayak waktu habis ngerebut istri Gito? Atau saat aku ngebohongin Kikan tentang Erika? Atau setelah sengaja bikin Kikan mabuk, nidurin dia yang jelas-jelas pacaran sama Pras? Aku bisa mengembuskan napas penuh penyesalan sambil nonton Shrek?

Why can't I now?

"Andreas Edward Prayoga!" Aku baru saja keluar dari mobil, Bunda menyambut dengan mata menyala marah. "Kamu apain cucu Bunda sampai dia minggat dari rumah, hah?! Dasar anak durhaka kamu!"

Ya ampun.

Apa lagi ini, ya Tuhan....

The Last Of The Famous PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang