23. Negatif

1.8K 219 9
                                    

Yoga

Dari kejauhan, gue melihatnya duduk terpekur seorang diri di kantin, mengaduk kuah bakso

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari kejauhan, gue melihatnya duduk terpekur seorang diri di kantin, mengaduk kuah bakso. Melamun. Dari wajahnya, dia tampak tertekan dan sedih, tapi tetap menghabiskan tiga mangkuk bakso dan tiga gelas es kelapa sirup merah. Bibirnya yang pink jadi merah seperti jambu air. Oh. Gue ingin cium bibir tipisnya yang mungil itu. Keliatannya manis seperti kue pukis.

Karena gue tersinggung tadi pagi, gue sengaja menjauh. Dengan mudah, gue ngebaur dengan siapa aja di kelas. Memang tujuan gue supaya Kevin lihat bahwa gue bisa bergaul tanpa dia. Kejam sih, untuk seseorang serapuh Kevin yang merasa senang karena akhirnya punya teman, tapi gue nggak suka caranya memperlakukan gue. Kalau gue memang ada salah, kenapa dia nggak mau bilang?

Lagian..., apa sih maksud pertanyaannya? Gue nggak jelas. Apa ada yang ngatain dia banci? Perasaan tiap hari juga dia dikatain banci dari segala penjur. Gue nggak masalah dia ngondek. Malahan gue gemas, pengen segera gue perkosa aja gitu. Apa dia nggak tahu kalau keinginan gue mendengarnya moaning like banci saat gue entot udah di ubun-ubun?

Tapi, gue nggak mau ah kalau harus nyapa duluan. Kevin harus menyadari arti kehadiran gue buat dia. Gue ganteng, ya. Gue bisa jadi cowok populer kalo gue mau, gue bisa bikin dia sasaran bully-an kalo gue nggak terlanjur sayang. Apa gue bikin gitu aja? Biar dia bertekuk lutut sama gue? Gue jadiin budak cinta gue?

No.

Gue nggak mau meski gue yakin bisa ngelakuinnya. Gue ingin hatinya. Gue ingin dicintai dan mencintai. Kalo cuma ewe, gue tinggal nyari partner di Grindr. Beres.

Harusnya dia nyadar, gue memilih dia. Gue di sisinya karena gue mau, bukan karena gue nggak punya pilihan lain.

"Bro!" Halim menyenggol bahu gue. "Temen lo di-bully tuh di kantin!"

Gue yang semula udah mengalihkan perhatian dari Kevin, mencarinya lagi. Cowok itu dikelilingin Ito dan gengnya. Disenggol, didorong, dan diketawa-ketawain. Kepalanya nunduk nggak berdaya, mau nangis kelihatannya. Perlu nggak ya gue datang dan ngusir mereka? Tunggu bentaran, deh. Belum keterlaluan juga.

Ito berani juga nyentuh properti gue, ya?

Seminggu lalu, udah gue tarik kerah kemejanya dan gue hantamkan punggungnya ke dinding diam-diam. Memang nggak ada yang lihat, gue sengaja menyeretnya ke tempat sepi. Gue bilang kalau dia berani ngeganggu Kevin atau kurang ajar sama gue, gue ludahin dia di depan umum. Gue bakal hajar dia, dan gue paksa dia ngisep kontol gue sampe muncrat, entah dia paham entah nggak. Tapi gue yakin dia nggak ngeh gue gay. Dia keliatannya sejenis hetero bloon yang jago nge-bluff doang. Mungkin dia lihat seharian gue nggak peduli sama Kevin. Mungkin ada yang ngadu bahwa gue dan Kevin berantem tadi pagi, makanya dia ambil kesempatan.

Mata gue terus mengawasi gerak-gerik mereka. Sampai Ito akhirnya puas ngegodain Kevin dan pergi, gue nggak beranjak dari tempat gue mengamati. Ketika bel tanda masuk terdengar, gue berjalan melintasi Kevin seolah gue nggak ngelihat dia sama sekali. Ekor mata gue sempat menangkapnya membuka mulut seperti akan bicara, tapi nggak tahu kenapa nggak jadi. Gue agak kecewa, tapi tetap bertahan dengan prinsip gue.

Usai jam kelima, mata pelajaran Bahasa Indonesia kosong. Kelas dibiarkan riuh rendah dalam ruangan tertutup. Kami diberi tugas menyelesaikan soal-soal yang ditinggalkan wali kelas karena guru bahasa cuti sakit. Dari tiga puluh tujuh siswa, hanya gue dan Kevin yang tetap diam di bangku kami masing-masing. Siswa lain sibuk berkelompok, bukan kelarin tugas, melainkan bikin huru-hara, bercanda dan teriak-teriak menikmati kebebasan.

Gue mencoret-coret buku tulis, menggambar karakter One Punch Man dengan kemampuan sketching gue yang busuk. Jujur, gue berharap Kevin menyentuh bahu gue dan minta maaf. Gue akan langsung memaafkannya. Gue kangen denger celoteh manjanya. Harusnya kalau kelas kosong gini, gue bisa puas-puasin diri nemenin dia cerita-cerita. Dengar suaranya yang rendah dan agak cadel itu bikin gue tenteram lahir batin.

Kenyataannya, Kevin nggak menyentuh bahu gue sama sekali, tapi melemparkan sebuah bola kertas yang melayang melewati bahu, kemudian mendarat tepat di atas buku tulis yang sedang gue coret-coret. Gue nggak langsung memungut, meski sebenarnya jantung gue berdentum-dentum nggak karuan karena bahagia, dan nggak sabar ingin melihat apa isinya. Setelah kevin mendesis "Buka!" dari bangku belakang, baru gue mengambil bola kertas itu. Bibir gue tersenyum lebar. Gue nggak percaya hati gue menghangat hanya oleh satu kalimat yang tertera di secarik kertas tadi.

I am sorry, Master Yoga.

Gue horny sampai panas dingin, tapi jadi ingin membuatnya memohon lebih keras. Nggak. Meski gue pasti akan memaafkannya, gue nggak akan melakukannya dengan mudah.

Nggak ada reaksi yang gue perlihatkan. Gue diam, membuang bola kertas tadi ke lantai. Kevin menghela napas panjang di bangkunya, bikin gue bahagia karena tahu dia kecewa.

Bola kertas kedua mendarat di meja gue. Gue pungut dan gue lempar kembali ke belakang. Begitu terus sampai lemparan ke tiga, baru gue nyerah dan membuka pesannya.

Makan kue di Harvest, yuk. Gue yang traktir.

Kue? Gue menahan senyum. Gue bahkan nggak suka kue. Kalau selama ini gue pura-pura senang nemenin dia makan kue, karena gue suka cara dia makan. Asal gue bisa bersamanya lebih lama, gue bersedia mengubah selera gue sesuai dengan seleranya.

Gue menulis balasan di balik kertas pesannya. Namun karena gue ingin melihat wajahnya, gue nggak melempar bola kertas itu. Gue mundur, berbalik, dan meletakkan bola tadi tepat di depannya. Matanya yang bulat membeliak kaget, rona merah bersemburat di pipi gembilnya. Shit. Dia cute banget, gue ingin gigit pipinya. Kalau dia bikin ekspresi semanis itu, gimana gue nggak makin naksir?

Gue masih menatap saat Kevin mengambil bola kertas dengan jemarinya yang bulat-bulat. Sewaktu dia mulai membaca, gue kembali menghadap ke depan.

Tadi gue tulis: Sorry, gue lagi males.

Nggak sampai satu menit, balasan dengan kertas baru gue terima.

I said I am sorry. Gue jelasin sambil makan kue nanti sepulang sekolah.

Gue membalas. Negatif.

Kevin nggak melempar apa pun lagi ke gue, tapi gue berusaha keras untuk nggak menoleh buat melihat keadaannya. Gue menyibukkan diri mencoret-coret lagi, sampai Dian yang duduk di depan gue balik badan.

"Yog, gue lihat jawaban lo nomor dua, dong!" katanya. Sekilas, gue lihat mata cewek itu melirik ke balik bahu gue. "Kevin! Lo kenapa?"

Seruan Dian membuat gue secara otomatis memutar kepala ke belakang, menemukan Kevin sedang menggosok matanya kasar.

Sebelum gue, Dian lebih dulu melompat dari duduknya. "Siapa yang bikin Kevin nangis?" teriaknya ke seisi kelas, membuat semua orang menghentikan kegiatannya. Gue mencoba menghentikan cewek itu mendekat ke Kevin, sebab itu akan membuatnya semakin malu. Sayangnya, Dian lebih lincah. "Siapa yang gangguin Kevin?"

Gue memejamkan mata. Dasar cewek bego. Terang aja Kevin hilang muka, semua orang bersorak saling menyalahkan gara-gara dia. Semburat merah yang sebelumnya lucu menghias wajahnya, kini merambat sampai ke telinga. Gue tahu dia marah karena tangisnya dijadikan bahan lelucon. Kevin mengibas tangan Dian yang mengusik kepalanya untuk menghibur dan bangkit dari bangkunya.

Saat tubuhnya melintas, gue menahan napas. Dada gue sesak melihatnya berjalan cepat meninggalkan ruangan. Apa gue keterlaluan menghukumnya? Apa dia nangis karena gue? Atau karena Dian?

The Last Of The Famous PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang