20. Ignored

1.8K 232 16
                                    

Yoga

Sesampainya di sekolah, ada dua puluh miscall dari Christ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di sekolah, ada dua puluh miscall dari Christ. Nggak satu pun gue respons—not even with any single SMS. Sekarang, sebelum gue turun dari motor, gue matiin sekalian itu benda maksiat yang bikin gue nyumpah tiap kali gue lihat namanya tertera di layar. Gue jadi nggak bisa cek aplikasi atau notifikasi lain, semua terkubur dalam panggilannya.

Hari ini kelas pertama PE. Gue semangat banget datang lebih pagi. Udah gue sengajain nggak pakai kaus PE di balik kemeja seragam, supaya gue punya alasan ganti baju di toilet bareng Kevin. Gue akan ngelihat Kevin ganti baju seperti minggu lalu. Gue harap jantung gue nggak kelojotan lagi kayak waktu gue ngelihat dia cuma dalam white briefs, berdiri membelakangi gue. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana gue bisa menahan diri untuk nggak meremas bokong atau menyentuh gelembung lemak di pinggulnya. Gue agak berharap kali ini gue bisa melihat puting dan dadanya yang berlemak, atau seberapa ukuran bulge di dalam sempak putihnya. Kevin bilang itu karena sempak bersihnya habis, jadi dia pake model lama. Gue sih suka.

"Kev!"

Gue yakin wajah gue tengah berbinar-binar. Begitu sampai di pintu kelas, gue melihat Kevin sudah duduk manis di bangkunya. Kepalanya tunduk menekuni sebuah buku yang terbuka di meja. Degup jantung gue mulai nggak beraturan, pandangan mata gue auto-fokus ke sosoknya yang memang menyita perhatian. Dia seperti cupid tanpa sayap, seperti bayi, murni, lucu, gemuk, menggemaskan. Fix. Gue. Jatuh. Cinta. Kalau Christ muncul lagi di depan gue, gue akan menggunakan momen ini untuk bertahan pada prinsip gue bahwa gue nggak akan menerimanya lagi. Gue akan fokus dengan cinta yang nyata, yang memberi gue kesempatan sebagai satu-satu orang yang akan dicintai dan mencintai orang ini.

Tuhan, semoga dia gay.

Jika bukan, tolong gay-kan dia, Tuhan!

Tanpa pikir panjang, gue meluncur ke arah Kevin. Gue letakkan begitu saja ransel di bangku depannya, "Pagi!" sapa gue seriang mungkin.

Kevin menaikkan bola mata. Gue udah siap menyambut dengan senyuman paling lebar di bibir gue. Wajarnya, Kevin akan membalas sama riang, menyingkirkan buku dari hadapannya dan mulai berceloteh mengenai apa saja. Membiarkan gue menikmati kelucuan-kelucuan yang dia tampilkan. Putaran bola matanya, bibir mungilnya yang cerewet, juga celetuk-celetuk ngondek yang bikin gemas. Gesture yang senantiasa membumbung-tinggikan harapan gue bahwa dia botty.

Gue menunggu, masih dengan raut bahagia, tapi yang gue dapat hanya balasan sapanya yang lesu.

"Lo sakit?" tanya gue perhatian.

Kevin mengulas senyum kecil mencurigakan. Menggeleng.

"Kok bete?" Gue melanjutkan sambil memutar kursi, lantas duduk menghadapnya. "Jangan bilang lo nggak bete. Gue bisa langsung lihat dari muka lo."

Gue menang. Dibarengi dengan napas berat yang terembus dari lubang hidung, tangan gemuk Kevin menggeser buku. Gue menggodai dengan menggembungkan pipi, menyamai bibirnya yang mengerucut. Tapi, senyuman yang gue mau nggak juga terbit di sana. Bahkan, untuk menambah kesan bete, dengan imutnya dia menopang dagu. Jemarinya menekan dua belah pipinya yang gembul, bikin hidungnya makin tampak pesek.

Ah. Beberapa minggu ini gue sangat terhibur dengan kehadirannya. Lenyapnya Christ nggak pernah terlalu mengganggu gue selama ada Kevin. Terserah orang itu mau apa dengan hidupnya, gue nggak akan mendengar apapun yang akan dia keluhkan. Untuk apa gue menghabiskan waktu menunggu seseorang yang sudah pernah gue hapus dari kehidupan gue? Gue memberinya kesempatan kembali satu kali, tapi dibuang begitu saja. Mentang-mentang gue gay, dia pikir gue bisa hanya didatangi kalau dia butuh di-ewe doang?

Not anymore.

Gue bahagia menjadi diri gue yang sekarang. Anak SMA sewajarnya yang naksir kawan sebaya. Hidup gue yang rumit sudah berakhir, sudah mati bersama meninggalnya Mama. Sekarang ini, gue hanya perlu menjadi seorang anak sesuai wasiat almarhumah. Gue bebas melakukan apa pun dalam hidup gue, nggak ada lagi yang harus gue penuhi, nggak ada beban yang gue tanggung. Dan cinta untuk Christ? Gue sudah membunuhnya. Dua kali. Seribu kali pun jika perlu.

Gue bahagia berada di sisi Kevin. Mungkin, bukan sekadar terhibur, gue jatuh hati.

"Menurut lo gue ngondek, nggak?"

Gue terlempar dari lamunan gue. Alis gue mengerut sendiri.

"Well ..., gue memang agak kemayu kata sodara-sodara Papa yang dari Jawa. Kata Mama gue, yang kandung ya ... bukan Tante Karen, gue itu cowok flamboyan. Kalo kata lo, gimana?" tembaknya tiba-tiba. Bikin jantung gue seperti dipukul sekali, tapi mematikan.

"Biasa aja," bual gue.

Jujur, gue ngebual. Apanya yang nggak ngondek? Musik di playlist Kevin itu band-band Korea yang cowoknya cantik-cantik, girl band, Lady Gaga. Selena Gomez! Kalau di telinganya ada earphone, seluruh tubuhnya bergerak lucu. Seakan dia menahan diri supaya nggak bergoyang, tapi goyang juga. Tontonannya Glee, Asia's Top Model, peduli banget siapa yang dinobatkan sebagai aktris dengan busana terbaik di academy award, suka putar bola mata (Andreas juga sih, entah kenapa dia pure straight), dan banyak komentar mengenai sekitarnya. Like BANYAK when I say banyak. Misalnya aja rok Alisia kependekan, curly rambut Elsa berantakan, sampai kecurigaannya tentang Barry yang diantar jemput tante-tante seksi.

Pokoknya, hal-hal yang cowok nggak ngondek nggak akan lakukan meski dibayar setara dengan honor Brad Pitt di World War Z, dilakukannya.

"Memangnya kenapa sih kalau seiyanya ngondek?" Gue mencubit pipinya.

Tangan gue ditepis.

Somehow, gue tersinggung. Karena tersinggung, gue cubit pipinya sekali lagi lebih kencang dari sebelumnya. Kevin menjerit, menyabet tangan gue. "Apaan sihhh ...!" pekiknya.

"Kok mukul?"

"Kok lo nyubit?"

"Habis lo lucu!" canda gue. Berharap kebetean Kevin luluh seperti tiap kali gue menghiburnya karena selalu menyandang nomor bontot di pemanasan lari keliling lapangan basket.

Tapi kali ini, ketika gue menusuk-nusuk lengan berlemaknya dengan pulpen, dia semakin marah. "Kenapa sih, lo?" serunya, melengking.

Gue tersentak. Beberapa siswa yang sudah mulai memenuhi kelas sama kagetnya dengan gue. Kenapa? Kok jadi gue yang kenapa? Dia yang dari gue datang udah aneh sendiri mirip anjing laut datang bulan. Gue hibur, marah. Apa itu berarti dia marahnya karena gue? Salah apa gue? Beberapa hari ini kami baik-baik aja, gue selalu iyain semua ajakannya. Mulai dari datang ke klub masak, makan kue sepulang sekolah, nganter ke toko sepatu, nggak ada yang gue tolak semenjak Christ kembali ngilang.

Karena as a gay_and a guy gue masih punya harga diri, gue hanya menggerakkan bahu. Memutar tubuh gue ke depan dan membereskan ransel yang sebelumnya gue letakkan begitu saja.

Sampai kelas PE berakhir, kami nggak ada saling sapa sama sekali. Gue ganti baju di kelas, berada di urutan dua lari pemanasan, dan nggak peduli meski sebagian cowok-cowok sekelas ngetawain dia.

Di pelajaran ke lima, baru gue tahu sebabnya.

The Last Of The Famous PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang