24. F

1.7K 230 20
                                    

Yoga

"Yoga! Kamu kok diam aja?" Dian menyenggol bahu gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yoga! Kamu kok diam aja?" Dian menyenggol bahu gue.

Bukannya gue nggak ingin ngejar, tapi gue masih ingin ngasih dia pelajaran. Kalau perlu, gue ingin sekalian coming out pada saat dia ngerasa dia nggak bisa tanpa gue, saat dia ngebutuhin gue, saat dia putus asa karena nggak tahu mesti ngebujuk gue dengan cara apa. Itu memang egois, tapi gue ingin Kevin tau bahwa gue nggak akan melakukan semua ini kalau gue nggak sayang dia. Gue ingin dia sadar hanya gue yang mau jadi temannya.

Jika saat itu tiba, gue akan lebih mudah membuatnya membalas perasaan gue.

"Yoga.... Kamu kan temennya Kevin!" Dian kembali mengguncang bahu gue. "Kasihan dia!"

"Gue lagi kesel sama dia," cetus gue akhirnya.

"Pantes!" manyun Dian.

Gue diam.

"Yog ...! Kalian berantem karena apa sih? Karena pertanyaan Mamanya semalem, yah?"

Alis gue mengerut. "Pertanyaan apa?"

"Tadi pagi dia sempet nanya ke gue gitu 'Memangnya gue kelihatan kayak banci?' ya gue iyain lah! Ternyata dia bilang semalem Mamahnya nanya... apa dia gay atau bukan."

Gue melotot.

"Ya, ampun. Kevin itu memang agak melambai, ya? Tapi gue tau kok dia doyan sama cewek. Dia kan selalu nyimpen perasaan buat Stephanie."

Gue nggak pernah dengar mengenai Stephanie. Tangan gue mengepal sendiri. Ada perasaan cemburu yang merayap di dada gue, hingga menggertakkan rahang gue. Stephanie? Kenapa dia nggak pernah cerita sama gue tentang Stephanie?

Jadi karena itu dia sensitif tadi pagi? Karena ditanyain Mamanya apa dia gay atau nggak makanya dia nanyain pedapat gue tentang kengondekannya? Kenapa lo nggak cerita ke gue sih, Gendut? Gue mengacak rambut dengan frustrasi di depan muka Dian, bikin Dian bengong. Kalau dari awal lo terus terang, gue pasti ngerti dan gue akan dengan sabar ngejawab semua pertanyaan lo!

"Dian!" panggil gue. "Ke_mana biasanya Kevin kalau bolos kelas?"

Dian diam, berpikir. "Kalau nggak di belakang koprasi sambil ngemil es potong kacang ijo, paling ke kantin. Dia kan kalo stres larinya ke makan. Makanya dia...."

Gue mengambil langkah seribu meninggalkan Dian. Di kepala gue berkecamuk banyak pertanyaan. Kenapa Tante Karenina tiba-tiba nanya gituan ke Kevin? Apakah Andreas beneran ngadu gue gay ke Tante Karenina? Sialan, Andreas. Gue harus bikin perhitungan sama dia kalau benar. Apa sih masalahnya sama gue? Ini kan personal life gue. Dia nggak berhak ikut campur dalam masalah gue! Ke_mana dia selama ini saat keikutcampurannya gue butuhkan? Mama butuhkan? Nggak pernah ada. Di saat gue memilih bahagia, dia nggak punya hak merusaknya!

"Kevin!"

Gue menemukannya di belakang koperasi. Bibirnya mengenyot sebatang es potong yang sudah mengecil hampir setengah ukuran semula. Gue menelan ludah, membayangkan benda lain yang sedang ada di dalam mulutnya.

"Yoga!" serunya senang. "Lo nyariin gue!"

Sepertinya gue terlalu khawatir dengan keadaannya, dia kelihatan baik-baik saja. Dengan berakting malas, gue duduk di sampingnya, menerima sebungkus es potong dan menggerusnya dengan gigi gue.

"Eyuh!" pekiknya. "Don't smash it with your teeth!"

"Kenapa?"

"Itu yang bikin sakit gigi!"

Gue tertawa. "Tapi gue selalu makan es potong begini," kata gue. Menggigit sepotong es lagi sambil meringis karena gigi gue ngilu. Kevin nyumpahin karena gue nekat.

Setelah itu, kami berdua asyik dengan es di tangan masing-masing. Gue ingin bertanya tentang Stephanie, atau pertanyaan yang ditanyakan Tante Karenina dan membuatnya gusar, tapi nggak sanggup mengusir ketenangan ini. Gue selalu ngerasa tenang di samping Kevin, rasanya, gue rela kami saling diam asal gue bisa selalu dengannya.

Sampai akhirnya, Kevin terisak. Gue memeluk bahunya, menenangkan tangisnya.

"Semalem gue berantem sama Tante Karen...," adunya di dalam pelukan gue. "Gue nggak nyangka aja Tante punya pikiran kayak gitu ke gue. Rasanya, gue ingin ngadu ke Mama, tapi gue takut Mama sama Tante berantem.... Maafin gue karena gue jadi bikin lo marah juga ya, Yog?"

Gue mengangguk di atas kepalanya.

Semoga gue nggak ereksi, itu aja doa gue. Aroma tubuh Kevin udah mulai bikin penis gue kedut-kedut. Di bawah lengan gue yang merangkum bahunya, bisa gue lihat bagian bawah kemeja seragam Kevin terangkat hingga gue bisa melihat belahan pantatnya yang gemuk dan putih.

"Apa sih yang bikin Tante lo tahu-tahu nanya begituan?" tanya gue, mengalihkan pandangan dari pemandangan yang bikin birahi gue berontak kurang ajar.

"Gue nggak tahu," jawab Kevin. Suaranya berbisik, terdengar manis seperti Pocky stroberi.

"Gimana dia nanyanya. 'Kok lo ngondek?', gitu?" tebak gue.

"Hah?" Kevin mengangkat kepalanya dari dada gue. "Siapa yang nanya gitu?"

"Tadi pagi kan lo nanya, 'apa gue ngondek?', ke gue. Gue pikir Tante Karen nanyain lo gitu!"

"Oh bukaaan!" Kevin mengibas-ngibaskan tangannya. "Emmm ... Kata Tante Karen gue harus hati-hati sama lo. Tante Karen bilang .... Emmm .... Lo nggak akan marah, kan, kalau gue ngomong jujur?" tanyanya hati-hati.

Gue menggeleng nggak sabar. "Apaan?"

"Tante Karen bilang Papah lo ngasih tau dia kalo lo gay jadi dia nyuruh gue ati-ati takutnya gue ketularan!"

F^ck!

Anjeng!

The Last Of The Famous PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang