Meskipun demikian, tetap ada sedikit rasa sedih yang menelusup tanpa kuketahui. Bukankah biasanya usia ke-17 adalah usia yang sangat dinantikan? Pesta sweet seventeen, mengundang teman sekolah, merayakan dengan keluarga, dan tentu saja mendapat banyak hadiah. Tapi rupanya aku harus menelan semua itu bulat-bulat. Tidak ada yang bisa diharapkan.

Seperti biasa, subuh Mbak Asih ke rumah untuk menyiapkan sarapan untukku dan bekal untuk Mama. Kemudian Mama berangkat kerja, Mbak Asih membereskan rumah, dan aku ke halaman belakang untuk memberi makan ikan. Pukul 8 aku memulai pelajaran sendirian dan berakhir saat jam makan siang. Mbak Asih datang dan makan siang bersamaku. Sedikit banyak aku bisa bercerita dengan Mbak Asih, tapi entah kenapa sepertinya Mbak Asih membangun sebuah tembok antara kita. Ia seperti selalu merasa segan, padahal aku hanya ingin berteman.

Aku kembali duduk di beranda belakang, melamun hingga senja datang, Mama pulang, dan kita makan seperti biasa.

"Ma, hari ini aku ulang tahun." Mama menghentikan mengunyah makanan sepersekian detik sebelum menelannya lalu menatapku dengan senyuman.

Mama menyentuh tanganku dengan lembut. "Selamat ulang tahun ya, Sayang. Maaf, Mama-"

"It's okay, Ma. Ica tahu Mama pasti sibuk."

Setelahnya kita makan dengan canggung. Kali ini aku menyudahi makanku lebih dulu, masuk ke dalam kamar, dan segera tidur. Aku hanya ingin hari ini segera berakhir.

***

Suara gaduh dan langkah kaki membuatku terbangun dari tidur. Baru pukul sebelas malam. Aku keluar dari kamar dan mendapati lampu dapur menyala.

"Ma, Mama?"

Di dapur kudapati sebuah kue kecil dengan satu lilin. Sementara Mama terlihat sedang memunguti sesuatu di bawah dan sedikit terlonjak saat melihat diriku.

"Eh, maaf Mama ngebangunin kamu ya."

Aku menggeleng dan menatap bergantian antara kue dan Mama. "Oh, ini, selamat ulang tahun, Sayang." Mama menyodorkan kue yang lilinnya belum dinyalakan kepadaku.

"Maaf ini lilinnya belum dinyalain, Mama nyari korek nggak ketemu-ketemu."

"Kan bisa pake kompor, Ma."

Kami terdiam selama beberapa detik sebelum sama-sama menertawai hal tersebut. Suasana antara kami kembali mencair. Setelah menyalakan lilin dan aku memanjatkan beberapa pengharapan, kami menikmati kue yang ternyata baru dibeli Mama selepas makan malam tadi.

"Kamu balik tidur aja, biar Mama yang beresin." Aku mengangguk dan kembali masuk ke kamar. Baru akan memejamkan mata, suara gaduh kembali terdengar, derap beberapa langkah kaki samar kurasakan.

Aku terduduk, merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi. Hampir pukul 12 malam, dan aku menunggu dalam keheningan, memastikan hal tersebut hanya perasaanku saja.

Tepat saat tengah malam, bersamaan dengan dentang jam, aku mendengar jerit suara Mama.

Bergegas aku keluar dan menuju kamar Mama. Namun langkahku tertahan di depan pintu pada sensasi basah di kakiku. Setelah mataku menyesuaikan pada gelap, aku baru sadar bahwa ini darah.

Aku berlari mengikuti jejak tetesan darah dan jejak kaki yang mengarah ke halaman belakang dengan tubuh gemetar. Banyak bayangan yang berkelebat yang kuharap semua tidak terjadi.

Dan di sanalah Mama berada, duduk di kursi yang biasa kutempati untuk menghabiskan sore dengan baju yang berlumuran darah; tak bernyawa.

Sebuah siulan panjang terdengar dari samping rumah. Dua orang bertopeng ski melambai senang sebelum kemudian berlari ke depan dengan tawa yang menggema setelahnya.

Menit-menit setelahnya kulalui dengan jerit dan tangis. Tubuh Mama yang mulai dingin kudekap erat.

Sadar bahwa masih ada yang harus kulakukan, dengan langkah gemetar aku mencoba berjalan ke ruang keluarga, meraih telepon rumah, dan menghubungi pihak berwajib.

Selang beberapa waktu kemudian rumah ramai oleh suara orang-orang yang berseragam. Aku ditemukan meringkuk di dekat telepon dengan tubuh menggigil.

Hari ulang tahunku yang ke-17 ternyata hari terburuk selama aku hidup.

***

Tbc...

Kenapa Mama Alysha dibunuh? Siapa sebenarnya yang melakukannya? Benarkah orang lain? Atau malah orang terdekatnya?

See ya di part selanjutnya~

AlyshaWhere stories live. Discover now