[7] Keheranan

25 10 0
                                    

🌿“Kebingunganmu terlihat menggemaskan di mataku”🌿

================================
Aku dan Lala berhenti tepat di bawah pohon yang paling rindang. Di sini sangat sejuk, maka dari itu aku suka berlama-lama disini. Aku menatap ke arahnya yang tengah melihat-lihat ke arah sekitar.

“Ayo, duduk.” Dia tidak menyahut, tetapi langsung duduk di sampingku.

“Aku perhatikan, kamu nggak pernah ke kantin, yah? Kenapa?” tanyaku mencoba mencairkan suasana agar tak terlalu tegang.

“Ramai, aku malas berdesakan,” jawabnya pelan.

“Ya udah, ayo makan. Aku kebetulan dibawakan banyak sama Mama,” ajakku sambil memberikan salah satu sendok ke arahnya.

Lala menerima sendok itu dan hanya menatapnya, tanpa mulai memakan makanan yang aku bawa. Kenapa? Apakah ia tidak mau sebenarnya? Apakah aku mengganggu waktunya dengan laki-laki tadi? Pikiran-pikiran negatif mulai merajai otakku.

“Kak, kak Van,” teriaknya sambil mengguncang lenganku.

“Eh, iya. Apa, La?” tanyaku kikuk, karena kaget dengan guncangannya tadi. Apalagi tadi aku sedang melamun.

“Nggak jadi makan, nih?”

“Eh? Iya silahkan, makan aja.” Aku gugup melihat tatapannya yang seolah menjerat diriku untuk tetap ada disampingnya.

“Ya udah, ayo. Kak Vano makan juga, kan? Masa aku aja, sih?” pungkasnya diiringi dengan tatapan menuntut ke arahku.

“Iya, aku makan juga, kok. Kamu duluan aja, gih,” pintaku, karena bagaimanapun juga, aku masih merasa canggung jika ada di dekatnya.

“Eh? Kok gitu, sih? Barengan aja, atau kalau enggak, kakak duluan aku sisanya,” usulnya diiringi dengan senyum tipis yang sangat menawan.

“Loh? Kok makan sisa, sih?” tanyaku bingung.

“Karena, pada waktu nabi dulu, perempuan makan bekas laki-laki, bukan laki-laki makan bekas perempuan,” terang Lala yang berhasil membuat hatiku berdebar.

“Oh gitu, ya udah makan bareng aja deh, biar adil. Setuju, kan?”

“Boleh,”

Kami berdua memakan nasi goreng itu bergantian. Aku selalu memandangnya saat ia tengah mengunyah, karena ia memiliki daya tarik tersendiri bagiku, dan aku tidak bisa menolaknya untuk saat ini, entah karena apa.

Segala hal yang ia lakukan terasa indah di mataku. Ah, apa ini yang namanya cinta itu buta dan tuli? Lagi-lagi akuerasakan banyak rasa baru setelah mengenal Lala. Aku selalu berharap kisah ini tak sama dengan kisah lamaku, karena perasaanku jauh lebih besar kepada Lala ketimbang dia.

“Kak Vano kenapa, sih? Suka banget ngelamun. Hati-hati, loh kita lagi ada di dekat pohon soalnya,” paparnya yang berhasil membuatku mengernyit.

Memang apa hubungannya melamun dengan berada di dekat pohon? Aneh-aneh saja dia itu. Tapi, aku selalu tertarik dan tak bisa menjauhinya.

“Memang apa hubungannya?” tanyaku.

“Nanti bisa kesambet sama penunggu pohonnya, tau.” jawabnya dengan nada serius.

Sontak, aku merasakan bulu tipisku mulai meremang. Mataku jelalatan memandang ke arah sekitar, takut-takut jika ada sosok yang muncul dan membuatku terkejut. 'Kan nggak elite kalau aku pingsan di depan gebetan, sungguh memalukan.

“Yang bener, kamu?”

“Iya, aku nggak bohong. Mama dulu yang bilang ke aku,” ungkapnya.

“Ya udah deh, jangan bahas itu lagi. Mendingan kita lanjut makan, bentar lagi bel masuk bunyi soalnya,”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 22, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Disforia KehidupanWhere stories live. Discover now