[2] Aku Kenapa?

65 31 29
                                    

🌿Aku benci pikiranku yang dengan tak tau dirinya malah memikirkan hal lain, saat ada tugas di depan mata🌿

================================

'Deg'

'Siapa dia?'
______________________________________

Tidak ada yang luka, kan?” tanyaku cemas setelah berhasil menyadarkan otak ku yang tadi sempat mengagumi dirinya

“Ah, tenang saja. Tidak ada yang luka kok,” jawabnya dengan senyum manis yang terbentang di bibir tipisnya

“Alhamdulillah,” ucapku penuh rasa syukur, karena bagaimanapun juga jika terjadi sesuatu dengannya, aku adalah orang pertama yang paling merasa bersalah dan yang akan di cari-cari oleh keluarganya.

Aku tidak bisa membayangkan reaksi Bunda, jika seandainya aku benar-benar menjadi buronan oleh keluarga gadis ini karena telah menabraknya.

“Yaudah. Aku ke kelas dulu, yah.” Ia pamit di iringi dengan langkah ringan yang perlahan mulai menjauh dari tempat kami bertabrakan tadi

“Hati-hati,” gumamku sambil mengamati kepergiannya, sampai tubuhnya hilang di tikungan koridor

Huft, apa sebenarnya yang merasuki otak ku? Sampai-sampai aku menggumamkan kata-kata aneh barusan. Padahal, selama ini aku tidak pernah mengucapkan kata itu kepada siapapun. Tetapi sekarang, entah kenapa bibir, hati dan otak ini kompak mengucapkan hal itu.

Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, aku bergegas mengayunkan kedua kakiku untuk segera sampai di kelas ku. Entah mengapa perasaan ku tidak enak. Apakah sebentar lagi aku akan di hukum, karena telat memasuki kelas? Kalau begitu, percuma saja aku berlari dari rumah sampai ke sekolah, jika akhirnya tetap di hukum juga.

Tiba di depan pintu, aku semakin merasa panas dingin karena melihat pintu kelasku yang sudah tertutup rapat. Ku beranikan diri untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka, ternyata di meja depan kosong dan tidak ada guru. Ku lihat, anak kelasku memusatkan perhatian mereka kepadaku, dengan canggung aku berjalan memasuki kelas dan hendak duduk di bangku milikku.

Tetapi, tiba-tiba ada yang menarik kerah belakang kemeja sekolah milikku. Seketika aku menegang. Mampus, pikirku. Ku gerakkan perlahan kepalaku untuk menengok siapakah gerangan yang dengan berani berbuat seperti itu kepadaku.

“Kenapa baru masuk? Kemana aja kamu? Kalau tidak berniat mengikuti pelajaran saya, sebaiknya kamu keluar Dyas Stevano Kusuma” tegas Pak Bondan dengan mata yang mendelik tajam ke arahku

Aku hanya bisa meringis menghadapi omelannya, apalagi melihat matanya yang melotot tajam terlihat sangat menakutkan. Juga, merutuk nasib sialku karena wajahku terkena hujan mendadak darinya.

“Bapak biasa aja dong. Nggak usah melotot kayak gitu, saya kan jadi takut. Lagian, saya tadi ketemu Pak Gibran dulu tau, makannya jadi terlambat masuk ke kelas,” jelasku yang tidak sepenuhnya berbohong, karena aku mengetahui bahwa berbohong itu dosa. Maka, sebisa mungkin aku menjaga diriku agar tidak melakukan kebohongan

“Ketemu Pak Gibran atau ke tauan Pak Gibran karena kamu dan Adit belum juga memasuki kelas, padahal bel masuk sudah berbunyi?” tanya Pak Bondan lagi

Sial. Kenapa guru-guru sangat menyebalkan sih hari ini. Apa jangan-jangan mereka sengaja mau mengerjaiku. Tetapi, aku siapa? Sampai-sampai guru-guru mau menjailiku.

Disforia KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang