[5] Keputusan

24 14 9
                                    

🌿“Tekad sudah bulat, tetapi hati tak mendukung. Kenapa masih terselip keraguan?”🌿

================================

“Aduh, kenapa dimanapun aku berada otak dan hatiku terus-menerus mencarinya?” gerutuku pelan, karena saat ini aku tengah berada di perpustakaan

Langkahku mengayun menapaki tiap tangga yang akan membawaku ke lantai atas perpustakaan sekolah ini. Entah mengapa, hatiku tiba-tiba terasa berdebar-debar, seiring dekatnya aku dengan perpustakaan lantai atas.

Mataku terpaku pada sosok yang tengah berdiri di rak buku bagian selatan. Apalagi ini? Mengapa aku bertemu dia lagi? Aku memang menginginkannya, tapi tidak secepat ini juga. Aku masih belum siap. Raga dan hatiku berjalan seiringan, tetapi tidak dengan pikiranku.

Kini kakiku malah melangkah mendekati gadis itu, entah apa yang akan aku lakukan jika berada di dekatnya nantinya. Aku hanya berharap, agar tidak mempermalukan diriku sendiri nantinya.

“Hai…” sapaku dengan nada ragu

Gadis itu membalikkan badannya dan menghadap ke arahku yang memang berdiri di belakangnya, bukan disampingnya. Ia mengernyit bingung seolah tengah mengingat siapa diriku.

“Hai…Maaf, siapa, yah?” tanya gadis itu sopan dengan senyuman canggung yang menghiasi bibirnya karena tidak berhasil mengingatku

“Ah, aku orang yang tidak sengaja menabrak kamu,” jelasku sambil menggaruk bagian belakang leherku yang sebenarnya tidak terasa gatal sama sekali

“Oh, iya. Aku ingat. Ada apa yah, Kak?” tanya gadis itu sambil memeluk erat novelnya seakan aku hendak mengambilnya –lucu–pikirku.

“Tidak ada hal penting. Hanya saja, aku ingin bertanya beberapa hal. Boleh?” tanyaku ragu

“Ah, iya. Silahkan,” jawabnya gugup

“Nama kamu siapa?”

“Lala Melvano Eudrafan. Kakak bisa panggil Lala,” jawabnya ramah disertai dengan lengkungan indah yang tercetak di bibir tipisnya

“Kalau kakak?”

“Ah, Dyas Stevano Kusuma. Kamu bisa panggil Dyas,” balasku dengan suara yang sedikit tertahan karena rasa senang yang masuk ke hatiku saat ia menanyakan namaku.

“Kamu kelas berapa?” tanyaku lagi. Sungguh, aku terlihat seperti orang kepo saat ini. Tapi, aku tak peduli, yang penting aku mengetahui hal yang sedari beberapa hari ini menggangguku.

“Aku kelas 11 IPS 4, kak.” Dia menjawab dengan senyum manis yang masih utuh di bibirnya

“Wah, satu kelas sama Adit, yah?”

“Iya,” balasnya lugu

Semoga saja Adit tidak menyukai gadis ini, aku tidak mau bersaing dengan saudaraku sendiri–batinku.

Ya udah, ayo ke kelas. Udah mau bel, nanti bisa telat dan mendapat hukuman.” Dia menganggukkan kepala sebagai respon ajakanku

Kami berjalan beriringan, hatiku merasa berbunga-bunga saat ini walaupun hanya sebatas jalan bersisihan dengannya. Aku ikut berbelok ke arah kelasnya. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan menatap bingung ke arahku.

“Kakak lupa jalan ke kelas?” tanyanya polos

Aku terkekeh pelan menanggapi pertanyaannya yang terkesan lucu bagiku.

“Enggak, kok. Aku cuma mau antar kamu ke kelas kamu aja. Boleh, kan?” balasku sambil mennaik turunkan alisku untuk menggodanya

“Oh, gitu. Boleh kok, kak. Ayok,” ajaknya dengan semangat, sampai tanpa sadar tangannya memeluk lengan sebelah kiri milikku

Disforia KehidupanWhere stories live. Discover now