01.

39 7 0
                                    

Mata gadis itu tak lepas dari bangunan beton di hadapannya. Rumah dua lantai dengan cat tembok berwarna putih bersih, pagar kayu yang dipoles mengilat, genting merah gelap, serta halaman yang sangat luas. Sayang sekali, tak sedikitpun rasa antusias dapat Ia utarakan ketika rumah itu tak akan jadi miliknya lebih dari tiga bulan.

"Oh sayang, jangan sedih begitu!" Kata seorang wanita paruh baya yang masih terlihat segar sambil mengangkat kardus berisi barang-barang.

Gadis itu memasang earphonenya. Bukan pertama kali baginya harus pindah rumah secara mendadak. Bahkan sekalipun dia pindah ke sebuah mansion, hal itu tidak akan membuatnya senang - toh, dia tidak akan tinggal di sana lebih dari setahun.

Laura Maudyson, biasa dipanggil Lau. Akibat kondisi keluarga yang menyebabkan Ia sering berpindah tempat tinggal, Lau tumbuh menjadi seorang gadis yang cenderung tertutup dan tidak suka bersosialisasi.

Menatap rumah barunya yang berdiri kokoh sekali lagi, Lau menghela napas. Ia kemudian memutuskan untuk pasrah dengan keadaannya. Bukannya dia bisa memilih keluarganya. Sudah cukup baik bahwa keluarganya bahagia dan harmonis, serta sangat menyayanginya, anak semata wayang mereka.

Ia membawa tas dan koper masuk ke dalam rumah. Pengalamannya berpindah-pindah rumah telah membawanya pada prasangka bahwa rumah itu akan penuh dengan debu dan kotoran. Ia sudah sangat malas membayangkan bahwa seharian ini dia harus membantu ibunya membersihkan seisi rumah yang berdebu.

"Oh lebih bersih dari dugaanku!" batin Lau setelah kakinya menginjak ruang tamu. "Tidak. Ini sangat bersih. Apa ada yang membersihkannya sebelum ini?"

Mengetahui bahwa Ia tak harus membereskan rumah barunya, Lau memutuskan untuk segera beristirahat.

"Ma, kamarku di mana?" Teriak Lau, lalu melepas salah satu earphonenya.

"Di lantai dua Sayang!" Teriak Teresha, mamanya.

Lau menaiki tangga kayu menuju lantai dua dan menyusuri lorong kecil di sana. Dia berhenti di depan pintu kayu yang berukir rumit. Ibunya sudah memberikan papan gantung bertuliskan Laura di depan pintu, menandakan kamar itu akan menjadi miliknya sampai Ia pindah lagi. Ia segera menarik kenop pintu itu dan memasuki kamar barunya.  Kamar ini lumayan besar. Lebih besar dari kamar di rumah sebelumnya. Temboknya dicat dengan warna koral dan periwinkle, dua warna favoritnya. Ibunya pasti sudah datang ke sini beberapa kali dan merenovasi rumah itu agar sesuai dengan seleranya.

Lau menyisir sekelilingnya. Tempat tidur kecilnya, meja belajar di dekat jendela, lemari kayu yang sudah menemaninya sejak Ia masih tiga tahun, rak kayu yang selalu Ia isi dengan buku dan barang-barang. Semuanya sudah ada di sana dan ditata dengan rapi. Ia hanya perlu merapikan dan memasukkan semua barang-barang pribadinya di sana.

"Lau!! Tolong bantu Mama, Nak!" Teresha berteriak dari bawah. Lau segera berlari menuju sumber suara.

"Kenapa, Ma?" Tanya Lau, sambil meneliti ruang tengah barunya. 

"Ini, antarkan kue ke rumah sebelah," Teresha menyerahkan kue yang sudah dipotong-potong kepada Lau.

"Yah, Mama! Kenapa nggak Mama sendiri aja?" Lau menolak, bagaimana pun dia tidak bisa terlihat sok asik didepan orang yang baru dikenalnya. Itu sama sekali bukan bakatnya. Terlebih, dia benar-benar lelah setelah perjalanan yang jauh ke rumah ini dan membantu menurunkan barang-barang kebutuhan mereka.

"Ayolah, Sayang! Mereka akan menjadi tetangga kita. Kita sebaiknya memberi sesuatu untuk menunjukkan sikap sopan sebagai tetangga!" Teresha masih berusaha membujuk anak gadisnya itu.

"Ah, Lau tidak pernah mendengar hal semacam itu!" Lau menunjukkan wajah malasnya.

"Mama janji ini yang terakhir!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Secret Mission: First EnshrinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang