Chapter 18: Comfort in Distress

117 19 0
                                    

Beberapa hari pun berlalu...

Malam ini, Esther diantar oleh Vesper ke istana dalam seperti biasanya. Esther yang tidak tahu apa-apa tentang rencana jahat Farhan dengan santai berjalan di samping Vesper, padahal inilah malam terakhir dia akan bercerita kepada Alexander.

"Vesper, menurutmu apakah konflik dalam kerajaan akan segera berakhir?" tanya Esther kepada Vesper.

"Secepatnya, Esther. Kamu tahu sendiri kalau Yang Mulia sedang berusaha yang terbaik untuk mengakhiri konflik ini," jawab Vesper sambil tersenyum.

"Sebaiknya begitu, karena aku benar-benar tidak nyaman dengan tatapan beberapa dewan kerajaan padaku. Sepertinya mereka benar-benar membenci keberadaanku di sini, terutama Penasehat," curhat Esther pada Vesper.

"Ada apa dengan Penasehat?"

"Tiap kali dia melihatku, aku merasa dia sedang menyiksaku di dalam imajinasinya. Tatapan matanya sering membuat bulu kudukku berdiri," kata Esther sambil merinding sendiri.

"Penasehat dari dulu memang begitu, Esther," kata Vesper sambil tertawa kecil.

"Hah... padahal mereka berdua adalah kakak adik. Kenapa sifat mereka berbeda sekali?" tanya Esther.

Tidak lama kemudian, mereka akhirnya sampai di depan pintu kayu besar.

"Baiklah, tugasku sudah selesai," kata Vesper.

"Terima kasih, Vesper. Maaf, aku selalu merepotkanmu," kata Esther dengan rasa bersalah.

"Itu memang sudah tugasku, Esther. Sampai jumpa," kata Vesper sambil tersenyum dan tiba-tiba Esther merasakan rasa gelisah di dalam hatinya.

"Ada apa, Esther?" tanya Vesper yang menyadari raut muka wajah Esther berubah.

"Ah? Tidak ada, Vesper. Aku pergi dulu," kata Esther kemudian membungkuk hormat pada Vesper. Setelah itu dia masuk ke dalam koridor yang ada di balik pintu kayu besar itu.

Selama ini Vesper selalu mengatakan hal yang sama ketika mengantarnya ke ruangan Alexander. Biasanya dia akan berkata : 'Aku akan menjemputmu nanti,'. Tapi kali ini dia malah mengatakan 'Sampai jumpa'. Entah kenapa dari kata-kata itu terasa seperti sebuah perpisahan pada Esther.

'Mungkin itu hanya perasaanku saja,' kata Esther dalam hati dan tidak menggubris kata hatinya itu.

Dia mengetuk pintu dan Alexander pun mempersilakannya masuk...

"Selamat malam, Esther," sapa Alexander yang seperti biasa membaca gulungan kertas yang tidak bisa diselesaikannya di siang hari.

"Selamat malam, Yang Mulia," sapa balik Esther kemudian duduk di tempat biasanya dia duduk.

"Biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku dulu, setelah itu aku akan mendengarkan dongengmu," kata Alexander yang masih sibuk.

"Baik, Yang Mulia," kata Esther menurut. Dia menunggu sekitar setengah jam dan akhirnya Alexander menyelesaikan pekerjaannya. Alexander duduk bersandar di atas tempat tidurnya. Mukanya tampak kelelahan.

"Yang Mulia, sepertinya Anda lelah," ujar Esther.

"Hari-hariku selalu lelah, Esther. Aku harus mengerjakan banyak hal dengan energiku yang terbatas," kata Alexander dengan malas.

"Benar juga. Ngomong-ngomong Yang Mulia, apakah tidurmu lebih baik sekarang? Aku lihat Anda sering terbangun pada tengah malam," ceplos Esther.

"Esther, lama-lama kamu semakin mirip dengan penguntit ya. Kamu suka sekali memperhatikanku?" tanya Alexander dengan jahil dan Esther langsung salah tingkah.

Night Storyteller [COMPLETE][SHORTLIST WATTY'S 2021]Where stories live. Discover now