"Hihhhh mentang-mentang badan situ gede sama berotot terus ngejek seenaknya."

"Yang penting enggak kecil kaya kamu, dasar kecil!"

"Kakak nyebelin!"

"Kecil ngeselin!"

Windi hanya menatap mereka berdua sambil tersenyum. Rumahnya menjadi ramai karena dua cucunya itu. Suaminya belum pulang dari luar negeri dan itu membuatnya sedikit kesepian. Untung saja cucunya mau datang ke sini bertepatan Rangga yang juga akan ke luar kota.

"Kalian udah selesai berantemnya? Mau sampai jam berapa berantemnya? Mau telat juga?" lerai Windi saat kakak beradik itu semakin menjadi perdebatannya.

"Kak Rafa itu Oma selalu saja menyebalkan. Giliran di sekolah aja udah kaya es batu berjalan, dingin banget. Sok gitu Oma, sengaja mungkin biar banyak perempuan yang suka sama dia."

"Enak aja, Kakak emang gitu yaa. Emangnya Kakak itu kamu yang bisa akrab dengan siapa aja."

"Daripada diem-diem, tapi ngeselin."

Windi memilih meninggalkan dua orang itu dan membuatkan sereal untuk Zeena. Susah sepertinya untuk menghentikan perdebatan mereka.

"Zeena, makan dulu. Biar kakakmu debat sendirian." Windi meletakkan semangkuk sereal di depan Zeena membuat gadis itu menoleh.

"Makasih Oma," ucap Zeena. Dia menatap sinis kakaknya. "Apa liat-liat?"

***

"Zeena!"

Gadis itu mencari sumber suara. Netranya menangkap siluet Devan yang berlari menghampirinya. Laki-laki itu sepertinya juga baru saja sampai.

"Assalamu'alaikum," ucap Zeena mendahului.

Laki-laki itu tersenyum. Sangat manis, menurut Zeena. "Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh."

Zeena teringat sesuatu dan meraih ranselnya. "Aku lupa, Dev, kalau bukunya semua dibawa ke rumah Oma. Ini buku kamu. Jazakallah khair, Dev."

"Iya, Zeen, bareng yuk ke kelas?" tawar Devan.

Zeena hanya mengangguk saja, tapi seseorang yang tidak dikenalnya tiba-tiba memanggilnya dari kejauhan.

"Siapa, Zeen?" tanya Devan penasaran. Namun Zeena hanya mengedikkan bahunya karena dia sendiri juga tidak tahu.

"Hai, Zeen!" sapa laki-laki itu.

Zeena sedikit memundurkan tubuhnya karena merasa tidak nyaman. "Maaf, nanti aja kalau mau bicara. Sekarang saya harus ke kelas keburu bel masuk," sahutnya.

Laki-laki itu terlihat kecewa, tapi dia tetap menuruti perkataan Zeena. Dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Aneh," gumam Devan.

"Kenapa, Dev?"

"Ah, enggak apa-apa. Ya udah yuk ke kelas."

***

Kelas Zeena hari ini ada praktik olahraga di lapangan dan kebetulan jam istirahat sudah tiba. Mereka berbondong-bondong menuju kantin, tak terkecuali Zeena, Devan, Nayya, dan Rey. Mereka berempat masih berjalan santai dari lapangan dengan seragam olahraga masing-masing, tapi tidak dengan Zeena karena dia belum bisa ikut olahraga.

"Zeen, laki-laki tadi mau samperin kamu lagi tuh," celetuk Devan saat melihat laki-laki tadi pagi mulai mendekati mereka.

"Biarkan saja."

Semua pasang mata kini tertuju ke arah Zeena, baik yang masih di lapangan ataupun yang berada di lantai atas.

"Hai, Zeen!" sapa laki-laki tadi.

"Iya, kenapa?"

Laki-laki itu tiba-tiba merasa gugup karena ditatap oleh teman-teman Zeena. "Gue Raymond kelas sebelas IPA satu."

"Terus?" Zeena sangat merasa tidak nyaman sekarang karena laki-laki di depannya itu.

Tiba-tiba saja laki-laki itu berlutut di hadapan Zeena. Tentu saja itu membuat semua orang yang memperhatikannya terkejut.

"Gue enggak tau lo mau apa enggak jadi pacar gue, tapi gue enggak berminat pacaran. Gue … gue pengen lo beri jawaban dulu atas perasaan gue. Apakah lo mau jadi pasangan gue?" ucap laki-laki bernama Raymond itu.

Devan yang mendengar itu hanya bisa mengepalkan tangannya dengan begitu erat. Apa-apaan kakak kelasnya itu?

Bug!

Pukulan itu membuat semuanya berteriak histeris. Bukan … bukan Devan yang melakukannya, tapi Rafa yang sejak tadi diam mengawasi mereka.

"Maksud lo apaan?!!" teriaknya penuh emosi. Dia menarik kerah seragam Raymond dan memaksa laki-laki itu untuk berdiri.

Raymond mengusap pipinya yang terasa nyeri akibat pukulan itu. "Lo apa-apaan sih, Raf?! Datang-datang main pukul aja! Gue lagi ngomong sama Zeena, bukan lo! Emangnya urusan lo, hah?!" bentak lelaki itu dengan kesal.

"Jelas ini urusan gue! Lo gak bisa minta dia seenaknya gitu aja!" balas Rafa tak kalah tajam.

"Ngapain enggak tanya ke orangnya langsung aja? Dia bakal milih lo atau gue?!"

Rafa tersenyum miring. Yakin laki-laki itu menantangnya? Hah, tentu saja dirinya tidak akan takut.

Rafa menatap hangat adiknya yang masih diam membisu. "Jen, kamu pilih dia atau aku?" tanya Rafa.

"Ya jelas aku pilih Kakak lah!" Zeena berujar kesal. Dia langsung pergi meninggalkan tempat itu karena merasa malu.

Semua siswi yang mendengar jawaban Zeena terlihat bersorak ricuh. Ada yang bahagia, tapi ada juga yang tidak terima. Terlebih lagi gengnya Siska. Perempuan itu sudah terlihat sangat marah dan bersiap melakukan sesuatu pada Zeena.

***

Kalau ramai, insya Allah update bakalan cepet.

Siapa yang rindu mereka berdua?

Nggak ada ya? Ya udah gak apa-apa.

Lancar puasa hari ini.

Jazakunallah Khairan❤️

Perfect Brother || HiatusWhere stories live. Discover now