Beberapa orang mulai bertanya keadaanku. Sementara aku, menahan perih di sikut justru penasaran pada keadaan Melda yang tak kunjung bangun dari badanku.
Aku menepuk bahunya beberapa kali ketika tahu ia tampak tak sadarkan diri. Aku teruskan menepuk pipinya sambil terus memanggil nama dia.
Tapi kedua mata itu masih setia terpejam tanpa gerakkan sedikit pun. Beberapa siswa berdatangan hingga mengerumuni kami, tapi tak seorang pun benar-benar menolong.
Aku heran, padahal beberapa detik sebelum jatuh menimpaku, Melda terlihat segar bugar tanpa ada sakit atau pun apa.
"Kamu gak apa-apa, dek?" Kak Anjar begitu saja muncul di depanku, di antara kerumunan orang.
Aku menggeleng, lalu melirik Melda tak sadarkan diri dalam pangkuanku. Kak Anjar menarik sikutku, dan meringis memperhatikan darah yang mengucur dari sana.
Kemudian pandangannya beralih pada Melda yang terpejam dengan wajah pucat dan bibir mulai membiru.
"Ka...Kak, tolong Melda dulu," ucapku gusar sebab penampakan wajah Melda sudah tampak seperti mayat.
"Tapi, tanganmu..."
"Gak apa, aku akan pulang segera," ucapku meyakinkan.
Kak Anjar tampak menoleh ke sekeliling, memanggil beberapa lelaki siswa baru dan anggota OSIS yang berada di sekitar untuk mendekat. Ia keluarkan sapu tangan dari dalam tas selempangnya, kemudian ditempelkan benda itu ke tanganku yang terluka.
"Tekan yang kuat, jangan sampai darahnya terus mengalir. Saat sampai di rumah langsung minta bantuan orang tuamu," ucapnya cepat.
Aku mengangguk dan bergegas menggantikan tangannya untuk menekan sapu tangan itu pada sikut.
Beberapa lelaki tadi membantu menaikkan tubuh Melda ke punggung Kak Anjar untuk ia gendong. Ia berkata masih butuh ditemani mereka untuk berjaga-jaga kalau ada hal darurat.
Sebelum beranjak, Kak Anjar menoleh sekali lagi padaku yang jug dibantu berdiri oleh beberapa teman perempuan tak kukenal.
"Dek, hati-hati di jalan," pesannya dengan wajah serius.
"Baik, Kak."
Kak Anjar menyunggingkan senyum manisnya sekilas sebelum berlari menggendong Melda menuju Ruang Kesehatan sambil menunggu Guru dan bantuan mobil ambulans.
Sisa pengurus OSIS yang aku kenali meredakan keributan dan kembali menertibkan para siswa baru yang berjalan beriringan menuju gerbang.
Aku harus mengembuskan napas beberapa kali agar rasa perih luar biasa pada sikutku ini sedikit bisa tertahan. Sepertinya lukaku juga cukup parah sampai darahnya tak berhenti mengalir, padahal hanya aku gunakan untuk menahan badan.
Para siswi baru yang tak tahu namanya pun sempat menanyakan keadaanku dan menawariku untuk pergi ke Klinik terdekat, tapi secara halus aku tolak. Aku hanya ingin lekas pulang dulu untuk saat ini.
'Kita telah terhubung. Gadis yang memecah batas ruang dan waktu.'
YOU ARE READING
A TIME
Teen FictionMakhluk apa yang paling berkuasa di dunia ini? Bagiku, ia adalah waktu. Ia kadang memberi luka dengan rindu tanpa sua, mengundang asa, menjanjikan cita, juga menaburkan penawar mengobati nestapa. Waktu juga terlalu jahil, ia sampai berani mempermain...
