Part 8

8 4 0
                                    

Author POV

Ujian akhir sudah selesai. Nilai yang ditunggu-tunggu dengan hati cemas, akhirnya terpampang di mading.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Sebastian selalu mendapatkan peringkat paling tinggi di antara teman-teman seangkatannya. Nilainya selalu paling sempurna. Belum ada teman seangkatannya, yang bisa menandingi nilainya.

Dan untuk tahun ini, keberuntungan sedang tidak berpihak pada Arabella. Nilainya anjlok, bahkan ia nyaris tidak lulus. Jika saja guru-guru tidak mempertimbangkan prestasi Arabella beberapa tahun ke belakang dan juga karakternya yang baik, sudah dapat dipastikan Arabella tidak akan lulus.

Plak!

Sebuah cetakan tangan berwarna merah, terpampang jelas di pipi sebelah kanan Arabella. Gadis itu menunduk, pipinya terasa perih, dan air matanya perlahan mengalir membasahi pipinya.

"Kamu buat Papa kecewa, Arabella!" bentak sang ayah. Ia benar-benar tidak menyangka, bahwa nilai Arabella bisa sehancur itu. Bahkan hampir tidak lulus.

Sementara itu, sang ibu yang berada di samping sang ayah, berusaha menenangkan ayah Arabella, agar tidak bertindak lebih. "Sudah, Pa! Kasihan Arabella," kata ibu Arabella.

"Ara, kamu ke kamar sana, istirahat. Jangan dipikirin lagi," suruh ibu Arabella lembut. Matanya menatap Arabella sendu, kasihan dengan Arabella yang mendapat amukan dari sang ayah.

Arabella mengangguk. Ia berjalan dengan langkah gontai menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua.

"Hei! Aku belum selesai, Arabella Widjaja!" Sang ayah berusaha mengejar Arabella, yang akhirnya tetap ditahan oleh ibu Arabella.

"Sudah, Pa, sudah ... kasihan Ara," kata ibu Arabella menenangkan sang suami.

"Dia ... dia benar-benar membuatku malu!" Ayah Arabella tak sanggup lagi menopang kedua tubuhnya. Ia terduduk di sofa, wajahnya memerah dan raut wajahnya kacau. Ia frustasi.

"Sudah, tidak apa. Ia sudah berusaha keras," bujuk ibu Arabella menenangkan suaminya. Ia bergerak mengusap pelan pundak suaminya itu.

"Argh, anak itu!" Ayah Arabella menjambak rambutnya sendiri. Kali ini, kekecewaan dirinya terhadap Arabella, sudah mencapai tingkat tinggi.

*** *** ***

Gelapnya langit malam masih tak dapat melawan gelapnya hati Arabella hari ini. Semuanya hancur begitu saja. Nilainya, prestasinya, semuanya. Jujur, Arabella kecewa dengan dirinya sendiri. Bahkan amat sangat kecewa.

Ia sudah gagal.

Air mata Arabella mengalir dari sudut matanya. Ia terduduk dengan posisi memeluk lutut, dengan kepala yang terhimpit di antara kedua lututnya.

"Maafin Ara, Pa, Ma ... maaf," lirihnya. Hatinya terasa perih. Ia tak menyangka bahwa ia akan segagal ini, padahal ia sudah belajar siang dan malam.

Ia memuaskan tangisannya. Tanpa terasa, sudah 30 menit ia menangis di bawah hamparan langit malam. Matanya sembab dengan hampir keseluruhan wajahnya memerah.

"Maaf ...," lirihnya.

Tiba-tiba saja, rasa lapar menghampiri dirinya. Perutnya memprotes meminta diisi. Karena, jujur saja, Arabella memang tak sempat makan karena terpuruk akan nilainya.

Ia melirik sekilas jam yang terpampang di layar ponsel. Pukul 10 malam. Terlalu malam sudah untuk makan makanan berat. Jadi, ia memutuskan untuk membuat beberapa roti untuk mengganjal rasa laparnya sampai besok pagi.

Tak ... Tak ... Tak ...

Suara langkah kakinya menuruni anak tangga demi anak tangga. Sesampainya ia di anak tangga terakhir, tiba-tiba saja, telinga Arabella menangkap sebuah percakapan yang memilukan datang dari arah kamar orang tuanya.

Lost Love HeartWo Geschichten leben. Entdecke jetzt