Chapter 1: Lies

20.3K 1.1K 62
                                    

A/N: Love you guys who read this story :* ! Pls no plagiarism, and enjoy reading! Vote comment review!!!

Open my eyes

It was only just a dream

.

.

.

.

.

.

Hidupku penuh dengan kebohongan.

Dan aku baru menyadarinya.

Tepat hari ini.

Ketika pagi hari setelah pergi berburu, ibuku bersikap aneh dan memaksakan sebuah kimono tua dengan 12 lapisan miliknya padaku, menyemprotkan parfum dengan wangi langka bunga Anderedium yang hanya digunakannya saat pesta keluarga, membedaki wajahku dengan bedak wajah yang halus dan wangi serta memulaskan pulasan bibir miliknya kepadaku-sesuatu yang tidak pernah terjadi selama ini.

Dan semuanya semakin terasa tidak beres, ketika siang hari pintu rumah kami diketuk dan tiga orang laki-laki asing bertubuh tegap berdiri di ambang pintu rumahku.

Kedua orang tuaku tampak panik, dan segera menghampiri ketiga laki-laki itu.

Aku melihat mereka berbisik-bisik dan berusaha membelakangiku, yang jelas memperhatikan apa yang sedang mereka lakukan. Sementara itu keringat dingin mengucur deras dari pipi ibuku.

Aku dapat melihat salah satu dari laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke dalam rumah, dan disanalah aku merasakan tatapannya. Tatapannya mengobservasinya kepadaku seakan-akan aku ini adalah barang antik di pasar dagang.

Dan ini pertama kalinya seseorang menatapku layaknya seorang serigala yang baru mendapatkan mangsanya.

Tatapan mengerikan itu tidak berlangsung lama, karena aku cepat-cepat memutuskan kontak mata kami dengan menununduk sedalam-dalamnya. Tengkukku menggigil kedinginan, dan tanpa kusadari keringat dingin telah membasahi punggungku.

"Hanabi,"

Itu suara ayah. Sedikit ragu, aku mendongakan kepala. Dan kini lima pasang mata menatapku secara bersamaan.

"Ya ayah?" aku menjawab sesopan mungkin. Ibu selalu mengajarkan untuk bertatakrama sebaik-baiknya dihadapan orang lain siapapun itu dan situasi seperti apapun itu.

"Beridirilah," aku dapat merasakan suaranya yang sedikit bergetar. Aku mengangguk patuh. Berdiri dengan perlahan dan melawan rasa tidak nyaman memakai kimono tua Ibu.

"Kemari,"

Aku berjalan dengan ritme yang kusadari sangat lamban. Sesuatu membuatku sangat enggan untuk mendekati ambang pintu. Seakan-akan sesuatu yang sangat buruk akan terjadi disana.

"Ada apa?" aku menatap Ayah dan Ibu bergantian, sebelum dengan ragu menatap tiga laki-laki asing dihadapanku.

"Kalian belum memberitahunya?" tanya salah satu diantara laki-laki itu sambil mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan cara yang membuatku sangat risih.

"Persetan dengan hal itu. Ada tidaknya kesepakatan gadis ini perjanjian kita tetap berlaku." Ucap salah seorang lagi, laki-laki yang pertama kali menatapnya tadi sambil tersenyum tipis.

"Perjanjian apa?" Aku menatap Ayah dan Ibu secara bergantian, dan kecurigaanku semakin menjadi ketika mereka segera merunduk, tak berani menatapku sama sekali. Aku membutuhkan tiga detik untuk sadar APA YANG TELAH MEREKA LAKUKAN.

Menyadari ekspresi horror di wajah putrinya, Ibu segera memelukku, "Maafkan kami Hanabi. Adikmu sakit, dan kami tidak tahu dengan apa kami makan hari esok tanpa...tanpa semua ini..." ujarnya sambil terisak.

Keluarga kami memang sangatlah miskin dan melarat. Aku mengerti beban yang dialami kedua orangtuaku untuk menghidupi seorang anak remaja dan seorang anak laki-laki yang masih kecil. Namun tidak pernah terbesit olehku mereka akan menjadikan aku umpan bagi keluarga ini.

Aku menatap ayahku, menuntun penjelasan. Namun ia diam saja.

Lagipula apa yang dapat ia lakukan?

Mereka telah menjualmu, Hanabi.

Ini keputusan paling keji yang dilakukan orang tua kepada anaknya

Tiba-tiba saja perutku terasa keram.

Dadaku sesak. Sebuah luapan emosi menuntut untuk dimuntahkan dari dalam tubuhku. Aku ingin marah, berontak dan berteriak sekeras-kerasnya layaknya orang gila, namun segera mengurungkan niatku.

Percuma saja. Tidak akan ada yang dapat menolongku saat ini kalaupun mereka melihat apa yang terjadi padaku. Kedua orangtuaku bahkan menipuku dengan sukses hari ini. Menangis pun tidak akan ada gunanya.

Sia-sia.

"Ikat dia," ujar seorang lelaki. Dua orang dari mereka menarik tanganku kebelakang, lalu mengikat pergelangan tanganku dengan tali bertekstur kasar yang biasa kugunakan untuk mengikat hewan buruanku.

Aku melihat ibuku masih menangis, sementara ayahku merunduk dengan wajah bersalah yang sesungguhnya tidak membawa perubahan apa-apa.

"Inikah tujuan kalian membesarkan aku? Untuk menjualku? Memangnya berapa yang kalian terima? Sebesar itukah kalian menganggapku selama ini?" Tanpa kusadari kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku ketika salah seorang laki-laki itu mulai menarik tanganku.

Tidak ada tanggapan berarti.

"Kalian jahat. KALIAN BENAR-BENAR JAHAT!" Ucapku dengan nada membentak-yang tidak pernah kugunakan sebelumnya untuk mereka. Detik selanjutnya tiga laki-laki itu menyeretku untuk berjalan seakan aku ini adalah anjing peliharaan. Aku sempat menolehkan pandangan ke belakang, dan kedua orang tuaku masih berdiri disana dengan ekspresi yang sama.

"Dia lumayan," ucap salah satu laki-laki itu tanpa menoleh padaku yang jelas-jelas berada di sampingnya, membuatku lebih merasa seperti barang dagangan.

"Kita akan dapat untung besar untuk yang ini."

"Keh, tidak bisakah kita cicipi dulu?"

"Si Tua Bangka itu akan memenggalmu, bodoh."

"Kau tidak tahu Si Tua Bangka menyukai gadis perawan?"

"Haha, dasar! Sayang sekali kalau begitu."

Tidak menggubris candaan kotor dan menjijikan mereka, aku memejamkan mata, berharap ini semua hanya bagian dari mimpi terburukku.

Namun percuma saja, ketika aku membuka mata, yang kudapati hanya belasan perempuan dengan nasib sama sepertiku, sedang berbaris rapi, dan beberapa diantara mereka menangis tersedu-sedu.

***

AN: Hellooo readers

Thanks kalo kalian udah baca sampe sini! Yes, this is historical-roman. Found out this genre really worth piece to write

Dukungan kalian bakal berarti BANGET

Semoga kalian suka ya sama permulaan critanya so REVIEW COMMENT VOTE ANYTHING!

HANABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang