7. Demam

11.7K 1.8K 175
                                    

Gue kedinginan! Malam ini rasanya dingin banget. Dengan mata yang masih tertutup karena mengantuk, gue mencari-cari selimut yang biasanya masih melindungi tubuh gue dari suhu dingin yang menusuk kulit. Pergerakan tangan gue terhenti saat gue merasa menyentuh sesuatu yang panas.

Anjir!

Gue langsung membuka mata, melawan rasa kantuk yang menghantui gue. Dengan segera gue mendudukkan badan gue di atas kasur, lalu memegang dahi Hayam Wuruk.

Astaga! Panas banget!

Gue sangat panik sekarang! Benar saja dugaan gue kemarin, Hayam Wuruk demam! Ini sih sudah pasti karena hujan-hujanan kemarin Hayam Wuruk terlihat menggigil, selimut yang gue cari-cari tadi ternyata dikuasai seutuhnya oleh dia.

"Astaga ini demamnya pasti tinggi, duh ukur suhunya dulu deh." Gue berdiri dan berjalan ke kotak P3K yang tersimpan di atas meja belajar, lalu mengambil termometer.

"Semoga gak sampe 39° celcius, deh." Perlahan gue menggeser lengan kiri Hayam Wuruk dan menaruh termometer di ketiaknya.

Hayam Wuruk sepertinya sadar ada benda asing yang menempel di tubuhnya, ia memberikan pergerakan kecil dengan lemas. Dengan lesu ia berucap, "Oce ... ini apa?"

"Ini termometer, alat pengukur suhu badan. Sepertinya kau demam akibat hujan-hujanan kemarin."

Hayam Wuruk tak menjawab, ia justru kembali melanjutkan tidurnya. Gue melirik ke arah jam, sekarang masih pukul dua pagi rupanya. Sekitar lima menit kemudian, gue mencabut termometer yang diapit tadi. "Ya Tuhan! 38,9° celcius! Ini sih demam tinggi!"

Langkah pertama yang gue ambil adalah mengecek persediaan obat penurut demam.

Ah, sisa satu tablet!

Gue lupa membeli obat-obatan sewaktu belanja kemarin karena sibuk memilih baju untuk Hayam Wuruk. Terlalu gegabah, tangan gue pun tak sengaja menyenggol meja. "Shit! Kurang ajar banget deh gue malah kepentok meja!"

Suara sambatan gue barusan rupanya mengganggu tidur Hayam Wuruk. "Oce, kenapa?"

Gue hanya menggeleng sembari mengacungkan jempol tangan gue, pertanda bahwa gue baik-baik saja. "Hayam Wuruk, kau demam tinggi. Aku mau mengompresmu. Kau mau pakai air dengan suhu biasa atau air hangat?"

"Air hangat saja."

Segera gue beranjak menuju kamar mandi, menyalakan shower air hangat yang sudah diperbaiki beberapa waktu lalu. Gue mengisi baskom kecil dengan air hangat. Setelah baskomnya terisi, gue mengambil handuk kecil dari dalam lemari.

"Jangan banyak bergerak dulu, nanti handuknya jatuh," ucap gue sambil memasang kompres di sekitar lehernya. Seingat gue, kalau orang demam akan jauh lebih efektif untuk dikompres di area seperti leher, selangkangan, dan ketiak karena di daerah itu ada pembuluh besar tubuh yang berjalan cukup superficial, jadi kalau terkompres dengan baik akan segera menurunkan demam secara cukup signifikan.

Hayam Wuruk kembali terlelap dalam tidurnya. Berhubung rasa mengantuk gue juga sudah ilang, jadi gue berencana untuk membuat kopi. Namun, baru saja gue hendak bangkit dari kasur, tangan Hayam Wuruk menahan gue. "Jangan pergi, Oce."

Nah kan ....

"Iya, aku tak akan pergi." Sejujurnya gue gak pernah mengurusi orang yang demam sebelumnya, makanya sekarang gue merasa sedikit panik. Selama ini kalau gue sakit ya gue sendiri yang mengurus diri gue. Tapi, kalau mengurus orang sakit itu rasanya beda!

Beberapa saat setelahnya gue lihat Hayam Wuruk sudah kembali tertidur. Gue menyeduh kopi instan yang biasa gue beli. Kopi yang terkenal dengan iklan "Cobain Kuy!" ini menjadi pilihan untuk menemani gue agar tetap terjaga.

Another Time [MAJAPAHIT] (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now