War of Rights Pt.1

Start from the beginning
                                    

"Sekarang kita yang ditunggangin mereka buat taruhan nyawa, lawan musuh bubuyutannya di benteng. Kurang ajar! Kita mesti lawan balik nih, jangan kalah cerdik sama mereka!"
Oceh Ayah dengan nada bicara yang menanjak.

"Oleh karena itu, kami akan membutuhkan kerjasama dan partisipasi warga sekalian untuk membangun keadilan mulai dari sini. Dikarenakan pertempuran kemarin, kami perlu mengamankan benteng yang porak-poranda dipenuhi mayat hidup, termasuk menciptakan keamanan di wilayah sekitar. Maka dari itu, kami mengharuskan kalian untuk menyerahkan senjata api ke..."
Belum selesai ucapan orang di balik HT, makian dari orang-orang di sekitar kami mulai menggema.

"Enak aja, gak akan!"

"Ya! Kami gak akan jatuh ke lubang yang sama!"

"Jangan berani-berani renggut kepemilikan kami!"

"Mereka ini GEPAT Pak, Bu! Perjuangan mereka bukan perjuangan kita!"

"GEPAT sebut diri sebagai pejuang? Gak ada perjuangan dalam membom Ibu dan anak-anaknya!"

"Ya! Laknat!"
Makian lantang dari sebagian orang yang saling menyahut, sementara sebagian lain simpatik makian-makian itu. Suasana berubah menjadi debat kusir, seraya sosok di balik HT lanjut bersua.

"Polisi bajingan kami lawan, sampah macam kalian pun akan kami lawan!"
sahut Ayah.
Aku tak dapat mendengar dengan jelas ucapan dari HT, bising pertengkaran di sini semakin kronis.

Anggota GEPAT yang berkerumun di sekitar mobil tampak geram. Tangan-tangan mereka menggenggam erat senapan serbu masing-masing, seakan siap melontarkan tembakan ke arah kerumunan penyintas. Beruntung kami imbang memegang senjata api rampasan dari polisi, bila tak bersenjata mungkin orang-orang di sekitarku telah bersimbah darah.

Tar! Ra-ta-ta-ta-tar!
Letusan senjata api bergemuruh dari arah pesisir waduk, di mana terdapat perkumpulan kemah lain. Pandangan kami, beserta semua orang di sini teralih ke asal suara.

"Di sana udah ngelawan..." kata Ayah.
Perdebatan berubah menjadi ketegangan, orang-orang mulai meninggalkan jalan, menuju kemahnya masing-masing.

"Pergi, ayo... Sekarang!"-Wisnu berjalan mundur, telapak tangan kanannya mengawai pada kami-"Ambil senjata, cari perlindungan, bikin garis pertahanan. Siap-siap yang terburuk!" ujar Wisnu. Kami pun berjalan mengikuti Wisnu.

Sesampainya di kemah, aku segera melepas menggenggam senapan MCX lalu menggendong tasku. Bersamaan dengan kami, semua orang di sekitar pun tengah bergegas mengemas barang mereka. Sebagian segera berlari memasuki kegelapan di hutan, sebagian lain bertahan dan mencari tempat berlindung.

"Ini kenapa lagi?"
Tanya Fitri dengan cemas. Ia dan ketiga saudaranya telah lebih dulu berkemas, Arfan dan Dinda sedang mempersiapkan senjata api.

"Polisi lagi? Loyalis itu bukan?"
Sambung Arfan, lalu menarik kokang AK miliknya.

"Emang gak kedengeran suara dari toanya?"
Balas Sely sambil memangkul tasnya.

"Kedengeran suara toanya sih, ta-" jawab Arfan.

"Tapi dari sini kaya orang kumur-kumur doang." Sahut Aldi,

"Bukan polisi, GEPAT..." jawab Sely.

"Well, shit."
Jawab Aldi dan Arfan serentak, sambil saling menatap.

"Siapapun mereka, kita bakal atasi bersama. Ya kan?"-Dinda berdiri, menggenggam pistol G2 dengan dua tangan sejajar di pinggang-"Sekarang, kita pergi atau bertahan nih?" kata Dinda.

"Tahan."-Ayah menoleh ke Dinda-"Kita udah terlalu banyak bertaruh buat relain tempat ini ke teroris. Ini perjuangan demi hak yang sebenarnya...." Balas Ayah, yang telah siap di balik pohon pisang dengan AK-nya.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now