Prolog.

117K 11.4K 3.4K
                                    

⚠️ TW // mention of crash and accident, blods, and death.⚠️

Kata orang banyak, kehilangan karena sebuah kematian adalah cara kehilangan paling baik. Menangisi raga yang telah tiada, mengikhlaskan yang sudah benar-benar pergi.

Tapi tidak berlaku untuk Haechan.

Baginya, kematian berarti cara kehilangan yang paling menyakitkan, paling kejam. Apalagi kematian dengan cara yang salah, atau lebih menyakitkan lagi adalah kematian itu karenanya, ulahnya, ialah penyebabnya.

****

Langit terlihat semakin gelap karena matahari mulai bersembunyi dan perannya mulai digantikan oleh rembulan yang malam itu bersinar tidak terlalu terang karena tertutup awan hitam yang menandakan hujan akan segara turun.

"Cabut bro!" Pamit Haechan pada kawannya di warung Abah--Tempat biasa mereka berkumpul.

"Jam berapa nih? Malu, Chan, sama banci. Banci aja baru dandan!" Sahut salah satu temanya yang disusul tawa.

"Biasa, jemput," jawab Haechan sembari memakai jaket jeans andalannya dan melakukan highfive ala anak tongkrongan pada umumnya.

"Teteh lo lagi? Salam ya, Chan. Kalo gamau jemput, gue ikhlas jemput!" Canda salah satu teman Haechan di sana yang tak dihiraukan olehnya.

****

Di tengah paparan hujan gerimis, wanita yang berdiri seorang diri di ruko yang telah tutup itu menunggu adiknya dengan raut wajah khawatir.

Pasalnya ini sedang hujan, jalan sedang licin, dan ya-- dia tahu, tahu bahwa sang adik sama sekali tidak ada niat untuk menjemputnya.

Adiknya terpaksa. Sangat terpaksa.

Hujan turun semakin deras. Langit malam yang gelap dan angin kencang menambah rasa khawatir wanita itu. Ia enggan menghubungi adiknya, karena ia tahu itu hanya akan membuat sang adiknya semakin kesal.

Setengah jam berlalu sampai suara berisik dari motor khas adiknya terdengar. Ia melihat tubuh sang adik basah karena guyuran hujan malam itu. Tak lama setelah adiknya memarkirkan motor, dan sang adik bergegas menghampirinya.

"Ayo!"

"Hujan, Chan."

"Ya, terus? Gua udah basah demi lo!"

"Pake jaket Teteh nih. Nanti masuk angin," ujar sang kakak yang hanya dibalas dengan decakan.

10 menit mereka berdua menunggu hujan dalam hening dan dingin. Haechan tidak mengambil jaket milik kakaknya, ia masih menggenakan jaket jeansnya yang telah basah.

Bukan karena ia tak mau, hanya saja ia terlalu gengsi untuk menerima.

"Chan? Mau makan dulu? Bibir kamu pucet kedinginan," tawar sang kakak yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Haechan.

Haechan seketika menjadi pribadi yang keras dan cenderung kasar. Dan na'as, pribadinya yang seperti ini hanya berlaku untuk kakaknya.

Di luar sana, Haechan adalah pribadi yang periang, ceria dan sangat baik. Ntah alasan apa yang membuatnya sangat kasar pada kakak kandungnya sendiri.

"Udah malem, gua dingin. Lo mau balik apa engga?"

"Hujan, Haechan."

"Kalo udah tau ujan, lo pesen taxi online harusnya bukan ngerepotin gua kaya gini!" Bentakan itu membuat kesabaran sang kakak habis untuk menanggapi adik semata wayangnya ini.

"Ayo pulang."

"Katanya ujan?"

"Katanya kamu kedinginan? Ayo pulang nanti kamu sakit," ucap sang kakak yang langsung membuat Haechan bangkit dan berjalan ke arah motornya lalu memakai helmnya.

HIDUP. || END. [HAECHAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang