S1. - 05. Dunia Itu Sempit

Começar do início
                                    

Di sana panggilan terakhirnya tertulis Salman Farid aku membuka WhatsApp-nya ada satu hal yang membuatku merasa sangat terkejut pesan panjang yang berinti, mas Reyhan akan kembali lagi dan berangkat dalam waktu 3 hari lagi, haruskah secepat ini?

Aku mengambil napas panjang, terdengar seperti suara kenop pintu dan Aku langsung menutup ponselnya dan meletakkan di tempat semula aku kembali menangis, baru saja aku sedikit membuka hatiku untuk menerimamu mengapa kamu harus pergi secepat ini?

"Din, kamu kenapa kok menangis? Ada yang sakit mau saya panggil dokter. Saya panggil dulu, ya? Tunggu sebentar!" ucapnya sangat panik.

Aku berbalik menghadapnya dengan air mata yang sudah tak sanggup aku tahan lagi lalu memeluknya erat,

"Jangan tinggalin Dinda! Hiks..!"

"Saya tidak akan ke mana-mana kok, sudah ya jangan nangis. Nanti kepala kamu sakit lagi" ujarnya sembari mengusap bagian kepalaku.

"Bohong! Tadi, Hiks.. Dinda enggak sengaja liat WA-nya Mas. Hiks.. Kata teman Mas, Mas mau pergi 3 hari lagi ... Hiks...!" aku memukul dadanya pelan tidak berdaya kemudian Dia kembali memelukku,

"Maafkan saya ... semua ini juga sangat mendadak untuk saya. Yang saya tahunya sekitar 3 Minggu lagi bukan 3 hari tapi ini memang mendak ... Saya juga baru tahu, Din." Tangisku benar-benar pecah di dada bidangnya itu. bukankah ini terlalu cepat untukku?

"Dinda--" lirihku sedikit mengambil napas panjang “Dinda mau ikut Mas aja." aku memandangi wajahnya kutatap matanya yang sudah mulai berkaca-kaca.

Dia melonggarkan pelukannya dan kemudian menghapus air mataku dengan. Kedua ibu jarinya.

"Bukan saya tidak mau mengajak kamu, tapi kamu masih harus sekolah, kan kata kamu sendiri perempuan itu harus cerdas. Saya yakin istri saya ini cerdas, tidak mengapa ya,, kita sama-sama belajar ikhlas, ikhlas untuk menerima semua ketetapan garis takdir, insya Allah ini yang terbaik."

"Tapi sampai kapan?"

"Insya Allah, akan saya usahakan Ramadhan saya balik, besok kalau kamu udah sembuh kita ke rumah kakak saya dulu, ya?" ucapnya diiringi senyum.

"Iya. Di mana?" Tanyaku yang sudah mulai sedikit membaik.

"Masih daerah rumah kamu kok, satu blok lagi"

"Dekat rumahku? Siapa?" Tanyaku antusias seperti lupa ada yang baru saja terjadi.

"Kamu kenal Ustazah Nadila?"

Aku berusaha berpikir, ustazah Nadila yang berusaha menasihatiku dan menenangkan ku sewaktu aku tidak mau masuk pesantren dulu dan beliau juga sangat dekat dengan bunda.

"Iya aku tahu! Beliau orang yang baik, penuh kelembutan"

"Dia, kakak saya."

"APA?" Seperti ada bom yang memenuhi kepalaku, diriku terkejut bukan main mengetahui apa yang sebenarnya. Tunggu berarti-- "Mas Omnya Haura?"

"Iya saya Omnya Rara kamu kenal?" tanyanya santai, sedangkan aku terkejut bukan main.

Haura itu temanku nama aslinya Haura 'Aini dia biasa di panggil Rara dan dia anak ustazahku di sana namanya ustazah Zaskia dia kakaknya Ustazah Nadila, dia guru mata pelajaran bahasa Arab di sekolahku. Kenapa dunia ini terlalu sempit. Aku jadi ingat beberapa waktu lalu sebelum jadwal per pulangan,

Rasa kantuk itu benar-benar tidak bisa kutahani lagi karena kemarin aku mengetik proposal dana pensi hingga larut malam. aku membelakangi Ustazah Zaskia yang sedang menerjemahkan kitab Durusul Lughoh. Suara ustazah sudah semakin samar di pendengaranku. Aku mulai menempelkan kepalaku di atas meja.

Garis Takdir Adinda (END) ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora